New
Sai memegang sebuah kuas dengan satu tangan, dan sebuah
gulungan di tangan lainnya, menggambar dengan berapi-api. Setiap kali ia
mengangkat kuasnya dari gulungan, seekor harimau tinta akan menjadi nyata dan
menyerang Shikamaru.
Usaha Shikamaru untuk menangkis serangan mereka berakhir
dengan ia terguling dari podium ke dalam kerumunan.
Ia tak punya waktu untuk hanya mengkhawatirkan Sai. Pikiran
Shikamaru benar-benar kacau.
'Mengapa jurusnya tak bekerja?'
'Mengapa penyamaran mereka bisa terungkap?'
'Apa Soku baik-baik saja?'
Shikamaru menghindari serangan demi serangan dari dalam
kerumunan. Dari sudut matanya, ia dapat melihat beberapa Kakusha menahan Rou.
Pria itu terus berusaha memberontak, tapi tidak mungkin baginya untuk
melepaskan diri dari pria-pria itu sekaligus.
Bagian pipi Shikamaru yang tergores makhluk tinta Sai terasa
tersengat.
Topeng resin yang Rou kenakan pada Shikamaru untuk
menyamarkan wajahnya mulai terkelupas.
“Sebentar lagi, topeng itu akan hancur seluruhnya, jadi aku
rasa kau akan merasa lebih nyaman.” Ucap Sai dengan senyum lugunya.
Kuasnya tak berhenti bergerak. Harimau tinta demi harimau
tinta menjadi nyata, mengepung Shikamaru.
“Kenapa kau melakukan ini…”
“Baru saja,” Sai menyadari,
“Kau mengatakan hal yang memberi
kesan kau mengenalku.”
Shikamaru tak memberitahu Sai bahwa ialah yang ada dibalik
topeng itu. Ia tak bisa untuk memulainya.
Kau takkan menyebutkan namamu jika kau beresiko ditangkap dan
namamu akan dilacak hingga ke desamu. Tak akan. Itu merupakan peraturan ketat
Shinobi.
Di belakang para Kakusha yang bergerombol menuju ke arahnya,
Shikamaru dapat melihat Gengo masih berdiri dengan tenang di atas podium. Ia
tetap bersedekap dan terus melihat pergulatan Shikamaru.
Andai ia berhasil menangkapnya sekali lagi…
Shikamaru melompat ke atas salah satu harimau tinta yang
mengepungnya, menusuknya dengan kunainya dan melompat turun dengan gerakan yang
mulus. Ia berlari segera setelah mendarat di tanah, membebaskan diri dari
kepungan makhluk itu. Dari sudut matanya, ia menangkap sekilas harimau itu
menghilang menjadi percikan tinta.
Ada begitu banyak
Kakusha menghadangnya, ia bahkan tak dapat menghitungnya.
“Apa ini akan bekerja?” Shikamaru bergumam pada dirinya
sendiri, membuat segel jutsu dengan tangannya.
Sulur gelap yang tak terhitung jumlahnya memanjang dari
bayangannya di segala arah.
Kagenui-nya, teknik jahitan bayangan, menggunakan sulur
bayangannya untuk menyerang dan mengikat lawannya seperti jarum dan benang.
Karena Shikamaru dapat menciptakan jarum bayangan dalam jumlah besar, jurus itu
menjadi jurus yang cocok digunakan untuk menghadapi beberapa lawan.
Shikamaru membidik ke arah harimau-harimau itu dan para
Kakusha. Sulur-sulur bayangan berbentuk jarum itu memanjang tanpa kendala. Yang
sulur-sulur itu butuhkan hanyalah dorongan yang kuat untuk membidik dan keluar
dari tanah.
“Ayo!” Shikamaru meneriakkan kata itu layaknya jeritan
perang. Sulur-sulur itu perlahan bangkit dari tanah, membesar dan bersiap untuk
menyambar –
“Hentikan tindakan tak bergunamu itu.” Gengo memanggil dari
atas podium. Saat suara itu terdengar, sulur-sulur bayangan Shikamaru dengan
cepat kembali ke tanah, dan berubah menjadi bayangan biasa.
“Ap- Apa yang kau lakukan?” Shikamaru berteriak marah pada
Gengo karena kegagalannya.
'Kenapa suara itu mempengaruhi bayangannya?'
'Sebenarnya dia itu apa?'
“Hm? Aku yakin aku mengenal jurus itu…”
Sai yang berkomentar. Ia sekarang berdiri di depan Shikamaru,
menghadangnya.
“Sai, jangan kau berani…”
“Tindakan tak berartimu itu tak enak untuk dipandang.” Ucap
Sai tenang, kuasnya dengan cepat menari di atas gulungan di tangannya. Harimau
yang keluar dari gulungannya kali ini berwarna hitam putih- dan jauh, jauh
lebih besar dari yang lain.
“Kau akan merasakannya dulu, dan mengerti, sesegera mungkin.” Ujar Sai, menunjuk kuasnya ke arah Shikamaru.
Harimau hitam putih yang sangat
besar menangkapnya sebagai sinyal, dan membuat langkah besar ke arah Shikamaru.
“Kau k***at…” Gumam Shikamaru, mengeluarkan kunai dan menatap
harimau itu, menyiapkan dirinya untuk pertarungan.
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu menghantam kaki kanannya.
Detik ketika ia menyadarinya, sesuatu lainnya menghantam kaki kirinya, dan
tepat saat Shikamaru menyadari para Kakusha melompat ke arahnya, semua sudah
terlambat.
Ia membentur tanah dengan wajah terlebih dahulu, beberapa
Kakusha mendudukinya dan menahannya.
“Untuk berpikir bahwa seseorang yang jeli sepertimu tak
menyadari harimau itu hanyalah sebuah pengalihan…pikiranmu pasti benar-benar
sedang kacau.” Komentar Sai, menunduk melihat Shikamaru yang mati-matian
mencoba bernapas dibawah tubuh orang-orang yang menahannya.
Pandangan Shikamaru yang terhambat menangkap bayangan seorang
pria mendekat dari belakang Sai.
Gengo.
“Lepaskan topengnya.” Gengo memerintahkan para Kakusha.
Sebuah jari menyelinap ke bagian retakan yang disebabkan oleh
kuku harimau itu, dan mengupas topeng Shikamaru dalam satu gerakan.
“Lihat, ternyata ini Shikamaru-san.” Ucap Sai.
“Jadi ini Si Jenius dari Konohagakure, Nara Shikamaru, huh…”
Suara Gengo terdengar seperti seorang kolektor yang menemukan benda yang telah
lama dicarinya.
Shikamaru mendongakkan kepalanya untuk melihat ke arah
sepasang mata biru yang berbinar mencurigakan. Tatapan Gengo tak lepas darinya
beberapa saat.
Shikamaru tersenyum sinis.
“Hanya untuk kau tahu,” ucapnya,
“Jika kau tidak melepaskanku sekarang, hal yang sangat mengerikan akan terjadi
nanti.”
“Aku tak memiliki rasa takut. Kau akan hidup dengan baik
bersamaku.”
Kata-kata Gengo yang meyakinkan itu diikuti dengan rasa sakit
yang tajam pada leher Shikamaru, dan ia kehilangan kesadaran.
Ini merupakan kegelapan yang sebenarnya
Tak ada cahaya atau apapun itu, Shikamaru bahkan tak dapat
melihat tangannya yang berada seinchi dari wajahnya.
Dalam kegelapan seperti inilah ia duduk dan tenggelam dalam
pikirannya.
Ia tak yakin sudah berapa hari berlalu. Dinilai dari berapa
kali mereka memberinya makan, dan keadaan perutnya, paling tidak sudah lima
hari.
'Bagaimana semua bisa berubah seperti ini?'
Tak peduli berapa kali Shikamaru memutar-balikkan kejadian
itu di kepalanya, ia tak dapat menemukan jawabannya.
Bukan hanya masalah Sai.
Ia memanjangkan bayangannya menuju ke arah podium dimana
Gengo berdiri. Namun bayangannya tak mampu menjerat kakinya, kehilangan
pandangan dari targetnya.
Dan Gengo telah mengetahui keberadaan Shikamaru dan yang
lainnya. Ia menyebut mereka ‘tikus’. Semua ini terjadi meskipun mereka telah
menyembunyikan chakra dengan sempurna.
Rasanya seperti terdapat sebuah penghalang di sekitar pria
itu yang membuat semua jutsu mereka tak berguna saat mereka mencapai jarak
tertentu darinya.
'Apakah Gengo benar-benar bisa mematahkan jutsu?'
Shikamaru tak dapat mengatakannya. Tapi tak salah lagi,
sesuatu telah mengganggu jutsu Shikamaru dan Rou.
Bayangan Shikamaru tak dapat mencapai Gengo. Juga saat ia
mencoba menggunakan kagenui-nya melawan monster harimau Sai, bayangannya
tiba-tiba tersendat dan kehilangan kekuatan.
Kesimpulan yang paling sesuai adalah bahwa baik Gengo atau
pengaruh dari sekitar Gengo telah melemahkan potensi kagemane-nya.
Mengikuti rentetan pemikiran tersebut, terdapat kemungkinan
yang besar bahwa jutsu Rou mengalami efek yang sama dan dilunturkan. Kemudian,
jejak chakra Shikamaru sendiri kemungkinan telah menyeruak dari penyamarannya,
memungkinkan Gengo untuk menyadari keberadaannya.
Itulah teori yang yang ia yakini saat ini.
'Jutsu tak bekerja terhadap Gengo…'
'Tapi kenapa?'
Shikamaru tak memiliki waktu untuk mengumpulkan informasi
yang cukup untuk memahami kebenaran dibalik fenomena ini. Ia tak mendapatkan
kesempatan untuk menginvestigasi apapun, walau sedikit, jadi tentu saja tak ada
yang dapat ia lakukan.
Tak memiliki apa-apa untuk melakukan sesuatu, tak mampu
memikirkan penyebabnya, membuatnya jengkel.
Ia kehilangan akal…
“Geugh! Urghh!”
Dari suatu tempat dibalik kegelapan itu, erangan kesakitan
Rou mencapai telinga Shikamaru. Jeritan Soku juga datang dari balik kegelapan
itu. Mereka berdua terdengar seperti sedang mengalami penyiksaan. Ia hanya
mendengar suara mereka dalam erangan dan rintihan.
Untuk beberapa alasan, Shikamaru sama sekali tak disiksa.
“Maafkan aku…” Ia bergumam, melihat ke arah suara Rou yang
kesakitan, meskipun diragukan apakah pria itu mendengar.
Inilah hasil dari tindakan Shikamaru yang gegabah.
Bukankah akan menjadi lebih baik jika ia sedikit
menginvestigasi Gengo sebelum bertindak?
Begitu banyak rencana lain yang ia bisa lakukan …
Shikamaru memberikan tinjunya membabi-buta dalam kegelapan,
meninju lantai batu yang dingin di bawahnya. Ia meninju lagi dan lagi…
“Apa kau masih hidup?”
Suara Gengo menuju ke arah Shikamaru dari kegelapan.
“Atau kau sudah mati?” Suaranya yang seperti penculik itu
membuat nada seolah ia khawatir karena tak ada jawaban.
Chakra Shikamaru sudah habis, namun ia tak mati, dan ia tau
Gengo sangat menyadari akan hal itu. Menanyakan pertanyaan yang telah ia
ketahui jawabannya merupakan hal yang tak lebih dari sebuah sindiran.
“Aku lihat kau menghabiskan seluruh makananmu.”
Shikamaru memakan semua yang mereka berikan padanya. Tentu
saja, hanya setelah memeriksa apakah itu diracuni atau tidak. Kemampuan untuk
merasakan keberadaan berbagai racun hanya dengan satu jilatan merupakan salah
satu fondasi dasar dari shinobi.
Shikamaru makan karena ia belum menyerah.
Selama ia masih hidup, masih ada celah yang dapat menjadi
kesempatan untuk melarikan diri. Jika tubuhnya tak dapat bergerak sesuai
keinginannya saat kesempatan itu tiba, ia akan mati.
Tak ada shinobi yang menyerahkan harapan hidupnya. Untuk
terus bertahan tak peduli apapun yang terjadi, untuk terus melaksanakan
kewajibanmu tak peduli apa yang terjadi, itu adalah shinobi yang sebenarnya.
Kita adalah Shinobi karena kita bertahan.
Itulah mengapa Shikamaru harus yakin bahwah Rou dan Soku juga
belum menyerah.
“Apa kau sudah lebih tenang, setelah menghabiskan
berhari-hari dalam kegelapan seperti ini?” Tanya Gengo.
“Apa kau merasa
mendengar perkataanku?”
“Sayang sekali,” ucap Shikamaru,
“Kegelapan merupakan teman
yang sangat dekat denganku.”
“Kau orang yang menarik.” Gengo tertawa.
“Aku akan datang
lagi.”
Pria itu menghilang secepat suara itu datang.
“ARRGGGGGHHHHHHHHHHHH!”
Rou mulai menjerit lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar