New
Begitu banyak orang yang berkumpul di alun-alun depan istana
hingga Shikamaru tak akan terkejut jika mereka merupakan seluruh populasi kota.
Bukan hanya para Kakusha dengan jubah hitam panjangnya. Pria
dan wanita, laki-laki dan perempuan, segala umur dan golongan berkumpul dalam
sebuah kerumunan besar yang kacau, menunggu kemunculan pemimpin mereka.
Mereka semua memasang ekspresi antusias dan penuh minat yang
sama di wajah mereka, mata mereka berapi-api dengan kesetiaan. Suara mereka
bercampur, menggumamkan pujian dan pengagungan sembari mereka menunggu. Setelah
dipertimbangkan, Shikamaru menganggap mereka berisik dan menjengkelkan.
Terjebak di tengah kerumunan yang menggila, dan terlebih lagi
di dalam jubah, Shikamaru dapat merasakan kulitnya mulai licin karena keringat.
Rou berada di sebelahnya. Soku mengintai dari atas atap
gedung beton di seberang istana itu.
Jurus Rou telah menyamarkan chakra Shikamaru agar terlihat
seperti chakra pemilik jubah yang digunakannya. Baik kualitas maupun kuantitas,
semua sama persis dengan Kakusha itu. Rou, tentu saja, melakukan hal yang sama
pada chakranya dan Kakusha yang sebelumnya menggunakan jubahnya.
Tentu saja, mereka juga menyamarkan wajah mereka. Sekali
lagi, itu merupakan hasil dari ketrampilan Rou. Tak peduli seberapa baik mereka
menyembunyikan chakra, jika pasukan musuh memiliki seseorang dengan mata yang
tajam dan merupakan pengingat wajah yang baik, mereka akan diketahui dalam
sekejap. Kemampuan Rou telah menjamin mereka tersembunyi lebih dari cukup, baik
chakra maupun kemungkinan mereka dapat terlihat. Meskipun jika wajah mereka
diperiksa, tidak mungkin akan ditemukan
perbedaan antara mereka dengan Kakusha yang sebenarnya.
Terlebih lagi, Shikamaru dan Rou tersembunyi diantara
kerumunan besar.
Semuanya telah dipersiapkan agar musuh tidak akan menemukan
cara untuk melihat keberadaan mereka.
“Untuk sekarang, ayo kita menuju tempat itu.” Gumam Rou
dengan suara pelan.
Ia hanya sedikit menggerakkan mulutnya saat berbicara,
matanya tak pernah lepas dari podium di depan kerumunan itu. Podium itu sedikit
lebih tinggi dari tanah, dengan tangga kayu di
sisinya. Tidak terdapat apa-apa di podium itu, tak satupun mikrofon
ataupun penjaga. Kerumunan itu berdesak-desakan ke depan, cukup dekat bagi
mereka untuk menyentuhnya.
“Saya katakan, apakah Gengo benar-benar akan muncul?” Rou
bergumam ragu.
Tidak salah jika ia merasa ragu. Untuk seorang pemimpin
negara, berdiri di podium tanpa penjagaan merupakan hal yang sangat berbahaya.
Jika Gengo muncul, maka itu sama dengan mengatakan bahwa dia tak memiliki
sedikitpun kecurigaan terhadap siapapun yang dapat membahayakan jiwanya.
“Untuk sekarang, lebih baik kita mencoba mendekat dan
menunggu. Jika Gengo tidak muncul, maka kita akan mundur secara diam-diam.”
“Dimengerti.”
Mereka hanya perlu mencapai jarak dimana kagemane Shikamaru
dapat menggapai pria di podium itu. Jika Shikamaru dapat menghentikan
pergerakan Gengo, maka Jarum Chakra Soku yang akan melanjutan sisanya.
“Jika dia hanya akan munc-”
Gumaman Rou terpotong oleh sorak sorai dari depan kerumunan
terdekat dari podium itu. Teriakan gembira muncul dan menyebar seperti
gelombang tidal di alun-alun. Bersamaan dengan Shikamaru yang mendorong untuk
membuat jalannya ke depan, semua orang bersorak kencang hingga gendang
telinganya terasa ingin pecah.
Seorang pria muncul di podium itu.
Dia mengenakan jubah hitam panjang yang sama dengan para
Kakusha, namun diselimuti oleh ornamen yang penuh warna, begitu pula dengan
sabuk perak besar. Lebih lagi, lengan jubahnya dibordir dengan ular perak di
sekeliling pergelangannya.
Rambutnya berwarna biru indigo gelap. Dia memiliki rahang
yang kuat, perawakan maskulin, dan posturnya jelas dan tegap. Dia melihat
dengan tenang ke arah kerumunan yang bersorak menggunakan matanya yang jernih
dan tampak cerdas. Ada sedikit jejak jerami pada rahangnya. Dia tampak berusia
sekitar 30 tahun.
“Pria itu kemungkinan besar adalah Gengo, iya kan?” Gumam
Rou, berhenti berjalan sesaat.
Shikamaru terus berjalan tanpa memberikan jawaban. Ia merasakan keyakinan yang kuat
bahwa pria itu pastilah Gengo.
Perlahan, pria itu mengangkat tangan kanannya ke udara.
Seketika, sorak-sorai menjadi diam. Gengo memejamkan matanya merasa puas karena
reaksi itu, sebuah senyum kecil tersungging di wajahnya. Ia menarik nafas
dalam, kemudian membuka matanya dan mulai berbicara.
“Pertama-tama, aku ingin menyatakan rasa terima kasihku
kepada kalian yang telah berkumpul disini.”
Suaranya dalam dan berat, menenangkan untuk didengar. Suara
itu memiliki sesuatu yang misterius yang membuatmu merasa mendengarnya bukan
hanya dengan telingamu, tapi dengan seluruh tubuhmu. Shikamaru merasakan
perasaan yang mengganggu dan membuat gelisah dalam dadanya, seolah suara pria
itu menggores hatinya.
Mata Rou bertemu mata Shikamaru kemudian perlahan mereka
mendekati podium. Sudah jelas bahwa ia juga merasakan sensasi tak nyaman yang
sama. Langkah kedua shinobi itu menjadi seimbang, menjaga agar pergerakan
mereka tetap lambat, halus dan senyap.
Gengo membungkuk kecil kepada kerumunan untuk menyampaikan
rasa terima kasihnya, dan kemudian mulai berbicara lagi.
“Sudah sepuluh tahun sejak aku datang untuk berdiri di podium
ini. Kita telah memperoleh banyak orang yang mengikuti cara berpikir kita, dan
negara kita telah mulai makmur. Namun, belum ada satupun keinginan kita yang
telah terwujud.”
Semua orang mendengarkan dengan penuh keheningan. Saat
kata-kata pria itu terhenti, sebuah atmosfir aneh berubah menjadi kesunyian
dari kerumunan, seolah setiap inchi dari alun-alun itu berada dalam
pengaruhnya.
“Aku memiliki sebuah pertanyaan untuk kalian seluruh rakyat
Negeri Sunyi!”
Suara Gengo yang tadinya tenang dan teratur kini mengeras
dengan amarah yang menggelora. Kata-katanya yang diteriakkan tampak berasal
dari dalam jiwanya.
“Negara ini dulu dikuasai oleh Daimyou, dan kini negara ini…
Dunia seperti apa yang menurut kalian lebih baik? Siapa yang lebih baik
memimpin dunia ini?”
“GENGO-SAMA!”
Para penduduk meneriakkan persetujuan mereka, suara mereka
menggema melintasi alun-alun layaknya gelombang tidal.
“Tidak salah lagi, pria itu adalah Gengo.” Gumam Rou.
Shikamaru mengangguk dalam diam, berbalik ke arah podium.
Mereka hampir tiba disana, beberapa meter lagi menuju jarak yang memungkinkan
kagemane Shikamaru mencapai dan mengikat targetnya.
Seluruh misi akan ditentukan dalam satu waktu…
Gengo mengangkat tangan kanannya, dan kerumunan kembali
terdiam.
“Aku telah menerima jawaban kalian. Hari-hari dimana kita
dipimpin oleh Daimyou yang melihat kekuatan, kebijaksanaan, dan kita, para
shinobi, sebagai hal yang tak penting- hari-hari yang kelam itu telah lama
berlalu! Rakyatku, kalian kini dapat menemukan kedamaian. Kami para Kakusha
akan melindungi kalian selamanya, dengan kekuatan dan hidup kami. Karena semua
itu adalah yang kami, para Kakusha, inginkan.”
Semua orang tampak dimabukkan dengan kata-kata itu. Mereka
diombang-ambingkan oleh emosi. Beberapa bahkan menangis.
Sejujurnya Shikamaru tidak merasa semua yang Gengo telah
katakan merupakan hal yang terlalu penting. Tak peduli bagaimana ia
memutarbalikkan kata-kata di kepalanya, itu tidak tampak seperti pidato yang
terlalu bagus. Akan tetapi, ia telah mengetahui bahwa suara Gengo memiliki
kekuatan yang misterius di dalamnya. Pria itu memiliki kekuatan yang membuatmu
mendengarkan suaranya tak peduli apa yang ia katakan.
“Negeri Sunyi kita berada di daerah yang sangat terpinggir di
kontinen ini. Sejarah kita adalah orang asing, tertindas dan ditindas. Leluhur
kita tidak memutuskan kontak dengan dunia luar untuk memutuskan pertukaran kita
dengan orang lain. Itu untuk melindungi milik kita. Selama kita tetap berada di
luar kontak dunia luar, kita akan tetap lemah. Namun kini, semua telah
berakhir.”
Suara Gengo meninggi, sangat marah.
“Orang yang seharusnya memimpin negara ini bukanlah Daimyou,
tapi kita, yang memiliki kekuatan shinobi! Itulah keadilan yang sebenarnya.
Karena perjuangan shinobi lah para penduduk terlindungi. Kehadiran shinobi yang
memiliki kekuatan di atas manusia biasa selalu ditemukan di seluruh dunia. Dan
malah, kita dipimpin oleh Daimyou, yang egois, memikirkan diri sendiri, sementara
mereka menghancurkan shinobi dan rakyat di bawah kaki mereka! Lihatlah negara
ini. Sudah 10 tahun sejak aku melenyapkan Daimyou. Lihatlah kemakmuran yang telah diraih Negara
ini!”
Dada Gengo dipenuhi oleh rasa bangga.
“Hampir sampai.” Gumam Shikamaru.
Hanya beberapa langkah lagi, dan Gengo akan berada dalam
jarak kagemane-nya.
“Aku akan melenyapkan Daimyou dari dunia ini, dan menciptakan
dunia yang baru untuk kita. Mengapa shinobi tidak diakui dan dihormati? Kita
yang memiliki kekuatan yang lebih besar dari Daimyou. Kita memiliki kekuatan
yang lebih besar daripada manusia lain! Mengapa
kita, yang melampaui yang lain, terus tertindas? Bukankah ciri khas kita
jauh lebih hebat daripada orang lain? Karena Daimyou takut akan era shinobi,
maka mereka mendiskriminasi kita, mengasingkan kita, dan membuat kita berada
dalam pengaruh mereka! Rakyat dan shinobi adalah sama, kita merupakan korban
dari keegoisan para Daimyou!”
Mereka semakin dekat dengan Gengo. Dari jarak ini, hampir
tampak seperti ada percikan biru keluar dari mata pria yang berapi-api itu.
“Revolusi…”
Sedikit lagi hingga mereka mencapainya. Sedikit lagi.
Pria yang berdiri di depan mata mereka hampir dapat
dipastikan adalah Gengo, dan mereka dapat dengan mudah mendekatinya tanpa
disadari- begitu mudah hingga Shikamaru merasa bosan.
Ia memikirkan kemungkinan bahwa ini adalah jebakan.
Namun tidak mungkin musuh menyadari keberadaan mereka, dan
mereka tak boleh melewatkan kesempatan ini.
“Akatsuki pernah berdiri dengan niat untuk mengubah dunia
ini. Namun mereka dihancurkan. Mereka dihancurkan oleh dunia shinobi yang tetap
tak berubah dari waktu ke waktu, tak ada hari ini yang lebih baik dari kemarin,
dengan shinobi yang masih dikuasai dan didiskriminasi. Namun Akatsuki hidup
dalam nama mereka…mereka adalah fajar. Mereka merupakan tanda bahwa pagi yang
cerah akan tiba. Dengar, kalian yang memiliki mentari pagilah yang akan bangkit
dari kegelapan yang sunyi.”
Gengo perlahan mengangkat kedua tangannya, seolah ia sedang
menyambut dewa dari surga.
“Sinar mentari pertama saat fajar di era yang baru ini, akan
bersinar dari Negeri Sunyi kita!”
Para penduduk bersorak, suara teriakan mereka menutupi segala
sesuatu yang lain.
Inilah kesempatan mereka.
Shikamaru membebaskan bayangannya. Sebuah sulur merayap
melewati kerumunan seperti ular berwarna hitam, merayap ke atas podium dan
berhenti di kaki Gengo.
Begitu ular bayangan itu menangkap dan menahan Gengo,
pergerakannya akan dapat dihentikan, dan jarum chakra Soku akan menyelesaikan
urusannya.
Semuanya akan baik-baik saja jika berjalan sesuai rencananya.
Hanya saja kagemane-nya…
Tak dapat menggapai Gengo.
“Ap-!”
Dia seharusnya telah berada dalam jaraknya. Dia berada dalam
jaraknya! Kenapa bayangannya tak dapat mencapai-
“Ada tikus yang menyelinap di sana.” Pandangan Gengo perlahan
mengarah tepat ke mata Shikamaru.
“Dia menyadari keberadaan kita, Tuan-!” Jerit Rou.
Beberapa bayangan melompat keluar dari belakang Gengo dan
melayang ke arah Rou, menahannya.
Shikamaru segera mencoba untuk menggapai Gengo dengan
bayangannya sekali lagi.
“Tak ada gunanya.” Gengo berkata tanpa perasaan.
Bayangan Shikamaru, sesuatu yang sangat akrab dengannya
seperti tangan dan kakinya sendiri, berubah menjadi layang-layang yang terputus
dari benangnya. Sulurnya sama sekali tak mengenai sasaran, berputar-putar
melingkar, bergerak sia-sia di tanah.
Baiklah kalau begitu…
Shikamaru melompat ke atas podium, mengeluarkan kunai dari
balik jubahnya. Jika rencana itu telah gagal, maka ia akan menyerang dan
melakukannya sendiri.
Gengo tak bergerak untuk lari dari Shikamaru. Sebuah senyum
tipis melengkung di wajahnya.
Shikamaru berlari ke arahnya, melemparkan kunai ke arah leher
pria itu dengan penuh perhitungan.
Seseorang datang ke arah Shikamaru dari sisi podium,
menendang perutnya dengan keras. Ia terguling ke sisi benda kayu itu sebagai
dampaknya, dan dengan cepat duduk di atas satu lutut, kunainya telah siap.
Dia menatap.
“Kau- apa yang kau…?”
Seorang pria berdiri diantara Gengo dan Shikamaru. Ia
memiliki kulit abu-abu pucat. Mata yang sayu, dengan emosi yang tak terbaca.
Mulut yang lurus dan jujur.
“Apa yang kau lakukan…?”
Tak salah lagi.
Shikamaru memanggil nama pria itu.
“…Sai.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar