New
Shikamaru sama sekali tak berusaha menyembunyikan rasa
menggigil yang menjalari tulang belakangnya karena duduk di lantai yang keras
dan dingin.
Disana tidak terdapat jendela. Dindingnya, langit-langitnya,
semuanya terbuat dari beton. Ia, Rou, dan Soku duduk membentuk lingkaran di
ruangan yang seluruhnya berwarna abu-abu.
Ketiga dari mereka mengenakan jubah panjang Kakusha. Semuanya
hasil curian, tentu saja. Bahkan ruangan dimana mereka berada bukanlah milik
mereka. Pemiliknya merupakan seorang Kakusha yang dikurung dalam lemari di
ruangan sebelah, pingsan karena Jarum Chakra yang melumpuhkan, milik Soku.
Tentu saja, mereka tak lupa melakukan interogasi di tengah
aksi pencurian mereka. Hasil dari semua pertanyaan mereka yang berulang-ulang
menghasilkan informasi yang cukup banyak.
“Tampaknya kesimpulan awal Shikamaru-dono benar.” Rou memulai
pembicaraan.
“Negara ini jelas-jelas terlihat seperti dikuasai oleh karakter
Gengo dan kharismanya yang kuat serta menakutkan.”
Shikamaru mau tak mau harus setuju dengan Rou tentang
kharisma Gengo. Mereka harus memancing seorang Kakusha pria yang lain untuk
mendapatkan jubah yang panjang untuk Roku, dan seorang Kakusha wanita untuk
jubah Soku. Dihitung dengan Minoichi, maka secara keseluruhan sudah tiga
Kakusha yang mereka interogasi.
Tiga orang Kakusha, dan ada satu hal yang tak berubah dari
setiap keadaan yang mereka pantau, yakni keyakinan yang tak tergoyahkan pada
Gengo.
Keyakinan yang para Kakusha miliki terhadap Gengo sangatlah
berbeda dari kepercayaan yang shinobi Konoha berikan pada Hokage, atau Naruto.
Manusia merasakan cinta dan penghormatan terhadap manusia
lain. Itu lah, menurut Shikamaru, hubungan antara shinobi Konoha dan pemimpin
mereka. Manusia menghormati manusia lainnya.
Namun cara mereka memperlakukan Gengo berbeda. Mereka
berbicara tentangnya menggunakan ketakutan dan penghormatan yang sama dengan
yang seseorang tujukan pada dewa yang hidup. Mereka yakin bahwa sementara
mereka adalah manusia, wujud Gengo merupakan sesuatu yang sangat berbeda. Itu
merupakan sebuah keyakinan yang tak tergoyahkan dan menggelisahkan.
Pria macam apa yang mampu membuat orang-orang begitu
memujanya?
Shikamaru sedikit menyadari bahwa dari dalam hatinya, ia
sendiri merasa penasaran dengan jawabannya.
“Baiklah, sudah dikatakan sejak awal bahwa semua ini akan
berakhir jika kita mengakhiri Gengo, kau tahu.” Ujar Soku blak-blakan.
“Itulah
mengapa pria tua ini dan aku yang diperintahkan. Jika kasusnya tidak seperti
ini, maka kami tidak dibutuhkan. Meskipun aku lebih menyukai jika keadaannya bukan
seperti itu, kau tahu.”
Meskipun komentarnya sedikit tidak sopan, masukan Soku
berhubungan dengan pembicaraan mereka.
“Sepertinya pemikiran mereka tentang Gengo telah berubah
menjadi sebuah kepercayaan (sejenis pandangan religius).” Ucap Rou.
“Aku juga merasa begitu, kau tahu.” Soku mengangguk.
“Sesuatu
pasti telah terjadi pada mereka hingga mereka begitu terikat dengannya.”
“Apa yang kau maksud dengan ‘sesuatu’, Hinoko?”
“Shikamaru-san! Aku sudah bilang jangan sebut namaku!” Soku
duduk menahan amarah, jari telunjuknya menunjuk wajah Shikamaru, dari ujungnya
keluar chakra oranye.
“Jika kau memanggilku dengan namaku lagi, aku benar-benar
akan menghantammu!”
Ia begitu marah, ia bahkan tak menambahkan “kau tahu” di
akhir kalimatnya.
“Kenapa kau tidak menyukainya? Itu adalah nama yang menarik…”
“Itulah mengapa aku tidak menyukainya!” Chakra Soku meraung
lebih jelas karena emosinya.
“Nama yang keren seperti Gourai [petir yang
menderu] atau Shippu [badai yang kencang]atau Kimidare [hujan di musim panas]
akan jauh lebih baik!”
Tak peduli seberapa kapabelnya dia, di dalamnya Soku masihlah
seorang anak berusia 14 tahun.
Kalimatnya yang menggunakan kata nama yang ‘keren’ sangat di luar dugaan, Shikamaru
berusaha keras untuk tidak tertawa.
Dia pasti salah menangkap ekspresi tegang Shikamaru sebagai
ekspresi penyesalan, karena chakra yang yang keluar dari ujung jarinya
tiba-tiba lenyap.
“Maaf,” ucap Shikamaru, mengontrol kembali dirinya.
“Aku tak
tahu kau membenci namamu sampai seperti itu. Aku akan berhati-hati untuk tidak
menggunakannya.”
“Se- selama kau mengerti…” Soku terlihat malu karena ledakan amarahnya, menunduk ke arah
lantai.
Di depan mereka terdapat peta Desa Tirai yang terbentang di
lantai. Juga diperoleh dari pemilik ruangan itu.
“Saya katakan, bentuk kota ini seperti jaring laba-laba.”
Ucap Rou bersedekap, berpikir.
Shikamaru menunduk untuk mempelajari peta itu. Pandangannya jatuh pada gambar
istana besar yang berada di tengah kota. Tulisan di sebelahnya menunjukkan
‘Istana Tahanan yang Mengambang’. (‘Mengambang’ yang
dimaksud adalah ‘terkatung-katung’ atau ‘tidak jelas nasibnya’)
“Tahanan yang Mengambang…” Shikamaru bergumam pada dirinya
sendiri.
“Itu merupakan istilah yang menghina.” Rou menjelaskan
menggunakan pengetahuan kunonya.
“Digunakan untuk tahanan perang, atau
orang-orang tak beradab di dekat perbatasan ibukota.”
“Menghina, huh…” Pikiran Shikamaru berputar saat ia bergumam
dengan keras.
“Apakah Gengo yang menamainya? Atau apakah istana itu telah
dinamai seperti itu jauh sebelum ia menjadi pemiliknya?”
“Negeri Sunyi selalu menghindari kontak dengan negara lain,
dan sebagai konsekuensinya, bahkan kami Anbu Konoha tak memiliki informasi
mengenai istana ini.”
Shikamaru entah bagaimana merasa bahwa Gengo-lah yang menamai
istana itu. Itu hanya merupakan intuisi yang samar, jadi ia tak mengatakan
apapun tentang hal itu.
“Kenapa menamai istanamu sendiri dengan nama yang menghina
seperti itu…”
“Apakah nama itu memiliki maksud seperti ini? ‘Saat Lima
Negara Besar dan negara-negara kecil lainnya mengklaim tanah mereka di kontinen
ini, kami orang-orang yang tak beradab
dipaksa untuk hidup di pinggiran.’ Mereka menghina diri mereka sendiri.” Ucap Rou.
“Itu pasti merupakan hal yang dimaksud.” Shikamaru
berkomentar, tenggelam dalam pikirannya.
“Itu bodoh, kau tahu.” Soku menyela dengan cemoohan. Ia diam
saja sedari tadi, mendengarkan pembicaraan mereka, namun tampak begitu marah
hingga ia tak dapat menghentikan dirinya dari berbicara.
“Menghina dirimu
sendiri, menyatakan dirimu adalah
sampah, kegilaan seperti apa itu? Dan pria sinting serta pesimistis ini mencoba
untuk mengubah dunia shinobi? Konyol.”
Ia lupa menambahkan kata ‘kau tahu’ lagi.
Shikamaru menyadari, Soku benar-benar marah terhadap
orang-orang di negara ini karenamemberikan nama yang mencela diri mereka
sendiri.
“Mungkin dengan menghina diri mereka sendirilah mereka
menemukan keberanian untuk menunjukkan taring mereka dan melawan seluruh
dunia.”
Jawaban Soku terhadap penjelasan Shikamaru adalah dengan
berpaling karena muak. Ia (Shikamaru) lanjut berbicara.
“Pembalasan dendam muncul karena kebencian terhadap lawanmu.
Dan kebencian tak akan pernah muncul dalam diri seseorang jika mereka tidak
memulai perkelahian atau memprovokasi pihak lain.”
“Kalau begitu, Shikamaru-dono, apakah menurut anda seluruh
orang di negara ini membenci negara-negara lain di kontinen ini?”
“Itu merupakan ide yang konyol, kau tahu.” Soku memotong,
masih memanas.
“Seluruh Kakusha yang menjalankan/memimpin negara ini merupakan
mantan shinobi dari negara lain, bukankah begitu?”
Soku benar. Fakta menjadi jelas pada waktu interogasi mereka
terhadap ketiga Kakusha. Setiap Kakusha yang terlibat dalam pemerintahan negara
ini, awalnya merupakan shinobi dari negara lain. Sebagian dari mereka merupakan
shinobi yang hilang dalam perang, dan sisanya merupakan mereka yang menjadi
missing-nin selama setahun terakhir, namun mereka semua merupakan penguasa yang
berpengaruh, yang bertanggung jawab pada Gengo.
Mereka telah mempelajari bahwa awalnya negara ini juga
memiliki Daimyou. Orang yang mengusir Daimyou, membangkitkan para Kakusha, dan
mengubah negara dari akarnya, tentu saja tak lain adalah Gengo.
Akan menjadi kesimpulan yang tepat jika mengatakan bahwa
seluruh Negeri Sunyi dipimpin oleh shinobi.
“Jika mereka membenci negara lain,” Soku melanjutkan,
“Maka
itu artinya mereka juga membenci desa mereka. Itu bukan hal yang benar.”
Konsep itu tampak asing baginya.
“Ada juga shinobi yang seperti itu.” Ucap Shikamaru
hati-hati, menjelaskan dengan nada yang tenang.
“Kelompok yang menyebabkan
perang besar lalu, ‘Akatsuki’, hampir semua anggotanya merupakan missing-nin.
Mereka adalah kelompok dengan kemampuan luar biasa yang membenci dunia
shinobi.”
Kau akan menemukan dirimu terjebak dalam situasi buruk, dan
kegelapan mulai menjelma. Bukanlah hal yang mengejutkan jika semua kemarahan
dan kebencian membuatmu memberontak di negaramu sendiri. Kau akan menyalahkan
desamu karena ketidakberuntungan dan penderitaanmu, mengatakan bahwa itu bukan
salahmu, namun merupakan salah dari struktur negaramu- tidak, struktur dunia
inilah yang harus dipersalahkan.
Karena melalui pemikiran itulah anggota Akatsuki atau Kakusha
terlahir.
“Namun, saya katakan, jika ini benar…” Rou berbicara, dan
Soku serta Shikamaru terdiam.
“Jika ini benar, dan para Kakusha merasakan
ketidakpuasan terhadap keadaan dunia shinobi yang sekarang…”
Rou melirik Shikamaru, yang mengangguk menyuruhnya
melanjutkan.
“Dan mereka datang ke negara ini dengan rasa tidak puas itu…
Namun, baiklah, apa yang mereka lakukan disini sama sekali tak berbeda dengan
apa yang telah terjadi di dunia shinobi, bukankah begitu?”
Rou merujuk pada bagaimana para Kakusha mendapatkan penghidupan.
Negeri Sunyi membuka rute pesan yang unik untuk bisnis/usaha, dan menerima
permintaan misi dari seluruh bagian kontinen. Lebih lagi, standar harga mereka
lebih murah dibanding (standar harga) Persatuan Shinobi. Ketika negara-negara
besar dan kuat seperti Lima Negara Besar tidak terlalu peduli tentang penurunan
harga dibanding kredibilitas, hal itu merupakan suatu keringanan untuk
negara-negara kecil di sekitar kontinen yang memiliki sedikit simpanan..
Tak heran jika permintaan misi kepada Persatuan Shinobi
merosot tajam.
Tepat seperti yang Rou katakan. Shinobi yang memiliki
kebencian terhadap dunia shinobi akan melarikan diri ke Negeri Sunyi- hanya
untuk terus menerima permintaan misi layaknya yang dilakukan shinobi.
“Sebuah ‘revolusi yang sesungguhnya’…” Gumam Soku penuh
pemikiran.
Ketika Rou dan Shikamaru melihat ke arahnya, gadis itu
terlihat gugup.
“Itu yang Minoichi katakan. ‘Tujuan kami adalah untuk
menciptakan sebuah revolusi yang sesungguhnya di dunia ini bersama dengan
Gengo-sama,’ dan semuanya…”
“Menurutmu mereka menerima permintaan misi demi mencapai
tujuan itu?” Tanya Shikamaru.
Soku mengangguk.
“Nah, kalau begitu…pria Gengo itu merupakan ancaman yang
harus dilenyapkan.”Gumam Rou.
“Kita telah diberkahi dengan kesempatan yang bagus, kau
tahu.” Ucap Soku, menunjuk alun-alun di depan ‘Istana Tahanan yang Mengambang’.
“Alun-alun itu disediakan sebagai tempat pidato… Itu
merupakan tempat yang cocok untuk pembunuhan, iya kan?” Rou tertawa, dan
melihat Shikamaru dengan gembira.
Pria yang selalu tampak tulus dan sederhana kini membicarakan
tentang pembunuhan berdarah dingin dengan senyum di wajahnya. Shikamaru baru
saja menyadari, dalam hatinya, bahwa Rou benar-benar merupakan bagian dari
Anbu.
“Untuk menyimpulkan apa yang telah kita diskusikan: Rou, kau
akan menggunakan jurusmu untuk membantu kita membaur di keramaian alun-alun.
Aku akan menggunakan bayanganku untuk mencapai dan menahan Gengo. Soku, kau
akan ditempatkan di atap terdekat, memantau dari atas. Saat kau melihat Gengo
menjadi kaku, kau harus segera melayangkan Jarum Chakramu.”
Mereka berdua mengangguk dengan senyuman yang tidak biasa
atas perintahnya, seolah mereka telah menunggu-nunggu saat itu tiba.
“Kami mengandalkanmu, Hinoko.”
“Berapa kali aku sudah katakan untuk tidak memanggilku
begitu?!” Soku bangkit dan berdiri, memanas karena kemarahan.
“…Empat puluh kali.” Bisik Rou.
“Huh?” Soku melotot ke arah seniornya, mulutnya terbuka
karena marah.
“Nama Shikamaru-dono memiliki ‘shi’ untuk ‘4’ dan ‘maru’
untuk ‘0’, jadi…empat puluh.”ujar Rou tanpa perlawanan.
Soku geram.
“Permainan kata-kata lagi!” Ia melangkah maju,
“Dan yang itu
buruk! Lalu apa yang terjadi pada ‘ka’?!”
Rou segera bangkit dan –meskipun berusia 40 tahun, secara signifikan
lebih besar daripada juniornya yang pemarah, dan merupakan seorang Anbu- dengan
cepat bersembunyi di belakang Shikamaru, meringkuk dari kemarahan remaja
berusia 14 tahun.
Tentu saja, ia melakukan tindakan tersebut untuk membuat
tertawa, namun itu tak membuat Shikamaru berhenti merasa malu akan sikap mereka
berdua.
“Apakah semua akan benar-benar baik-baik saja besok…?” Ia
menghela nafas.
Kedua Anbu berdiri tegak, kalimat yang meyakinkan keluar dari
mulut mereka.
“Semua akan baik-baik saja, kau tahu!”
“Tak ada yang perlu terlalu anda khawatirkan, Tuan!”
Melihat mereka, Shikamaru mengehela nafasnya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar