Novel Shikamaru Hiden Chapter 9 - YUKKIMURA. BLOGS

Latest

Rabu, 06 April 2016

Novel Shikamaru Hiden Chapter 9


Shikamaru sama sekali tak berusaha menyembunyikan rasa menggigil yang menjalari tulang belakangnya karena duduk di lantai yang keras dan dingin.


Disana tidak terdapat jendela. Dindingnya, langit-langitnya, semuanya terbuat dari beton. Ia, Rou, dan Soku duduk membentuk lingkaran di ruangan yang seluruhnya berwarna abu-abu.

 

Ketiga dari mereka mengenakan jubah panjang Kakusha. Semuanya hasil curian, tentu saja. Bahkan ruangan dimana mereka berada bukanlah milik mereka. Pemiliknya merupakan seorang Kakusha yang dikurung dalam lemari di ruangan sebelah, pingsan karena Jarum Chakra yang melumpuhkan, milik Soku.

 

Tentu saja, mereka tak lupa melakukan interogasi di tengah aksi pencurian mereka. Hasil dari semua pertanyaan mereka yang berulang-ulang menghasilkan informasi yang cukup banyak.

 

“Tampaknya kesimpulan awal Shikamaru-dono benar.” Rou memulai pembicaraan. 

 

“Negara ini jelas-jelas terlihat seperti dikuasai oleh karakter Gengo dan kharismanya yang kuat serta menakutkan.”

 

Shikamaru mau tak mau harus setuju dengan Rou tentang kharisma Gengo. Mereka harus memancing seorang Kakusha pria yang lain untuk mendapatkan jubah yang panjang untuk Roku, dan seorang Kakusha wanita untuk jubah Soku. Dihitung dengan Minoichi, maka secara keseluruhan sudah tiga Kakusha yang mereka interogasi.

 

Tiga orang Kakusha, dan ada satu hal yang tak berubah dari setiap keadaan yang mereka pantau, yakni keyakinan yang tak tergoyahkan pada Gengo.

 

Keyakinan yang para Kakusha miliki terhadap Gengo sangatlah berbeda dari kepercayaan yang shinobi Konoha berikan pada Hokage, atau Naruto.

 

Manusia merasakan cinta dan penghormatan terhadap manusia lain. Itu lah, menurut Shikamaru, hubungan antara shinobi Konoha dan pemimpin mereka. Manusia menghormati manusia lainnya.

 

Namun cara mereka memperlakukan Gengo berbeda. Mereka berbicara tentangnya menggunakan ketakutan dan penghormatan yang sama dengan yang seseorang tujukan pada dewa yang hidup. Mereka yakin bahwa sementara mereka adalah manusia, wujud Gengo merupakan sesuatu yang sangat berbeda. Itu merupakan sebuah keyakinan yang tak tergoyahkan dan menggelisahkan.

 

Pria macam apa yang mampu membuat orang-orang begitu memujanya?

 

Shikamaru sedikit menyadari bahwa dari dalam hatinya, ia sendiri merasa penasaran dengan jawabannya.

 

“Baiklah, sudah dikatakan sejak awal bahwa semua ini akan berakhir jika kita mengakhiri Gengo, kau tahu.” Ujar Soku blak-blakan. 

 

“Itulah mengapa pria tua ini dan aku yang diperintahkan. Jika kasusnya tidak seperti ini, maka kami tidak dibutuhkan. Meskipun aku lebih menyukai jika keadaannya bukan seperti itu, kau tahu.”

 

Meskipun komentarnya sedikit tidak sopan, masukan Soku berhubungan dengan pembicaraan mereka.

 

“Sepertinya pemikiran mereka tentang Gengo telah berubah menjadi sebuah kepercayaan (sejenis pandangan religius).” Ucap Rou.

 

“Aku juga merasa begitu, kau tahu.” Soku mengangguk. 

 

“Sesuatu pasti telah terjadi pada mereka hingga mereka begitu terikat dengannya.”

 

“Apa yang kau maksud dengan ‘sesuatu’, Hinoko?”

 

“Shikamaru-san! Aku sudah bilang jangan sebut namaku!” Soku duduk menahan amarah, jari telunjuknya menunjuk wajah Shikamaru, dari ujungnya keluar chakra oranye. 

 

“Jika kau memanggilku dengan namaku lagi, aku benar-benar akan menghantammu!”

 

Ia begitu marah, ia bahkan tak menambahkan “kau tahu” di akhir kalimatnya.

 

“Kenapa kau tidak menyukainya? Itu adalah nama yang menarik…” 

 

“Itulah mengapa aku tidak menyukainya!” Chakra Soku meraung lebih jelas karena emosinya. 

 

“Nama yang keren seperti Gourai [petir yang menderu] atau Shippu [badai yang kencang]atau Kimidare [hujan di musim panas] akan jauh lebih baik!”

 

Tak peduli seberapa kapabelnya dia, di dalamnya Soku masihlah seorang  anak berusia 14 tahun. Kalimatnya yang menggunakan kata nama yang ‘keren’ sangat di luar dugaan, Shikamaru berusaha keras untuk tidak tertawa.

 

Dia pasti salah menangkap ekspresi tegang Shikamaru sebagai ekspresi penyesalan, karena chakra yang yang keluar dari ujung jarinya tiba-tiba lenyap.

 

“Maaf,” ucap Shikamaru, mengontrol kembali dirinya. 

 

“Aku tak tahu kau membenci namamu sampai seperti itu. Aku akan berhati-hati untuk tidak menggunakannya.”

 

“Se- selama kau mengerti…” Soku terlihat malu  karena ledakan amarahnya, menunduk ke arah lantai.

 

Di depan mereka terdapat peta Desa Tirai yang terbentang di lantai. Juga diperoleh dari pemilik ruangan itu.

 

“Saya katakan, bentuk kota ini seperti jaring laba-laba.” Ucap Rou bersedekap, berpikir.

 

Shikamaru menunduk untuk mempelajari  peta itu. Pandangannya jatuh pada gambar istana besar yang berada di tengah kota. Tulisan di sebelahnya menunjukkan ‘Istana Tahanan yang Mengambang’. (‘Mengambang’ yang dimaksud adalah ‘terkatung-katung’ atau ‘tidak jelas nasibnya’)

 

“Tahanan yang Mengambang…” Shikamaru bergumam pada dirinya sendiri.

 

“Itu merupakan istilah yang menghina.” Rou menjelaskan menggunakan pengetahuan kunonya. 

 

“Digunakan untuk tahanan perang, atau orang-orang tak beradab di dekat perbatasan ibukota.”

 

“Menghina, huh…” Pikiran Shikamaru berputar saat ia bergumam dengan keras. 

 

“Apakah Gengo yang menamainya? Atau apakah istana itu telah dinamai seperti itu jauh sebelum ia menjadi pemiliknya?”

 

“Negeri Sunyi selalu menghindari kontak dengan negara lain, dan sebagai konsekuensinya, bahkan kami Anbu Konoha tak memiliki informasi mengenai istana ini.”

 

Shikamaru entah bagaimana merasa bahwa Gengo-lah yang menamai istana itu. Itu hanya merupakan intuisi yang samar, jadi ia tak mengatakan apapun tentang hal itu.

 

“Kenapa menamai istanamu sendiri dengan nama yang menghina seperti itu…”

 

“Apakah nama itu memiliki maksud seperti ini? ‘Saat Lima Negara Besar dan negara-negara kecil lainnya mengklaim tanah mereka di kontinen ini, kami orang-orang  yang tak beradab dipaksa untuk hidup di pinggiran.’ Mereka menghina diri mereka sendiri.” Ucap Rou.

 

“Itu pasti merupakan hal yang dimaksud.” Shikamaru berkomentar, tenggelam dalam pikirannya.

 

“Itu bodoh, kau tahu.” Soku menyela dengan cemoohan. Ia diam saja sedari tadi, mendengarkan pembicaraan mereka, namun tampak begitu marah hingga ia tak dapat menghentikan dirinya dari berbicara. 

 

“Menghina dirimu sendiri, menyatakan dirimu  adalah sampah, kegilaan seperti apa itu? Dan pria sinting serta pesimistis ini mencoba untuk mengubah dunia shinobi? Konyol.”

 

Ia lupa menambahkan kata ‘kau tahu’ lagi.

 

Shikamaru menyadari, Soku benar-benar marah terhadap orang-orang di negara ini karenamemberikan nama yang mencela diri mereka sendiri.

 

“Mungkin dengan menghina diri mereka sendirilah mereka menemukan keberanian untuk menunjukkan taring mereka dan melawan seluruh dunia.”

 

Jawaban Soku terhadap penjelasan Shikamaru adalah dengan berpaling karena muak. Ia (Shikamaru) lanjut berbicara.

 

“Pembalasan dendam muncul karena kebencian terhadap lawanmu. Dan kebencian tak akan pernah muncul dalam diri seseorang jika mereka tidak memulai perkelahian atau memprovokasi pihak lain.”

 

“Kalau begitu, Shikamaru-dono, apakah menurut anda seluruh orang di negara ini membenci negara-negara lain di kontinen ini?”

 

“Itu merupakan ide yang konyol, kau tahu.” Soku memotong, masih memanas. 

 

“Seluruh Kakusha yang menjalankan/memimpin negara ini merupakan mantan shinobi dari negara lain, bukankah begitu?”

 

Soku benar. Fakta menjadi jelas pada waktu interogasi mereka terhadap ketiga Kakusha. Setiap Kakusha yang terlibat dalam pemerintahan negara ini, awalnya merupakan shinobi dari negara lain. Sebagian dari mereka merupakan shinobi yang hilang dalam perang, dan sisanya merupakan mereka yang menjadi missing-nin selama setahun terakhir, namun mereka semua merupakan penguasa yang berpengaruh, yang bertanggung jawab pada Gengo.

 

Mereka telah mempelajari bahwa awalnya negara ini juga memiliki Daimyou. Orang yang mengusir Daimyou, membangkitkan para Kakusha, dan mengubah negara dari akarnya, tentu saja tak lain adalah Gengo.

 

Akan menjadi kesimpulan yang tepat jika mengatakan bahwa seluruh Negeri Sunyi dipimpin oleh shinobi.

 

“Jika mereka membenci negara lain,” Soku melanjutkan,

 

“Maka itu artinya mereka juga membenci desa mereka. Itu bukan hal yang benar.”

 

Konsep itu tampak asing baginya.

 

“Ada juga shinobi yang seperti itu.” Ucap Shikamaru hati-hati, menjelaskan dengan nada yang tenang. 

 

“Kelompok yang menyebabkan perang besar lalu, ‘Akatsuki’, hampir semua anggotanya merupakan missing-nin. Mereka adalah kelompok dengan kemampuan luar biasa yang membenci dunia shinobi.”

 

Kau akan menemukan dirimu terjebak dalam situasi buruk, dan kegelapan mulai menjelma. Bukanlah hal yang mengejutkan jika semua kemarahan dan kebencian membuatmu memberontak di negaramu sendiri. Kau akan menyalahkan desamu karena ketidakberuntungan dan penderitaanmu, mengatakan bahwa itu bukan salahmu, namun merupakan salah dari struktur negaramu- tidak, struktur dunia inilah yang harus dipersalahkan.

 

Karena melalui pemikiran itulah anggota Akatsuki atau Kakusha terlahir.

 

“Namun, saya katakan, jika ini benar…” Rou berbicara, dan Soku serta Shikamaru terdiam. 

 

“Jika ini benar, dan para Kakusha merasakan ketidakpuasan terhadap keadaan dunia shinobi yang sekarang…”

 

Rou melirik Shikamaru, yang mengangguk menyuruhnya melanjutkan.

 

“Dan mereka datang ke negara ini dengan rasa tidak puas itu… Namun, baiklah, apa yang mereka lakukan disini sama sekali tak berbeda dengan apa yang telah terjadi di dunia shinobi, bukankah begitu?”

 

Rou merujuk pada bagaimana para Kakusha mendapatkan penghidupan. Negeri Sunyi membuka rute pesan yang unik untuk bisnis/usaha, dan menerima permintaan misi dari seluruh bagian kontinen. Lebih lagi, standar harga mereka lebih murah dibanding (standar harga) Persatuan Shinobi. Ketika negara-negara besar dan kuat seperti Lima Negara Besar tidak terlalu peduli tentang penurunan harga dibanding kredibilitas, hal itu merupakan suatu keringanan untuk negara-negara kecil di sekitar kontinen yang memiliki sedikit simpanan..

 

Tak heran jika permintaan misi kepada Persatuan Shinobi merosot tajam.

 

Tepat seperti yang Rou katakan. Shinobi yang memiliki kebencian terhadap dunia shinobi akan melarikan diri ke Negeri Sunyi- hanya untuk terus menerima permintaan misi layaknya yang dilakukan shinobi.

 

“Sebuah ‘revolusi yang sesungguhnya’…” Gumam Soku penuh pemikiran.

 

Ketika Rou dan Shikamaru melihat ke arahnya, gadis itu terlihat gugup.

 

“Itu yang Minoichi katakan. ‘Tujuan kami adalah untuk menciptakan sebuah revolusi yang sesungguhnya di dunia ini bersama dengan Gengo-sama,’ dan semuanya…”

 

“Menurutmu mereka menerima permintaan misi demi mencapai tujuan itu?” Tanya Shikamaru.

 

Soku mengangguk.

 

“Nah, kalau begitu…pria Gengo itu merupakan ancaman yang harus dilenyapkan.”Gumam Rou.

 

“Kita telah diberkahi dengan kesempatan yang bagus, kau tahu.” Ucap Soku, menunjuk alun-alun di depan ‘Istana Tahanan yang Mengambang’.

 

“Alun-alun itu disediakan sebagai tempat pidato… Itu merupakan tempat yang cocok untuk pembunuhan, iya kan?” Rou tertawa, dan melihat Shikamaru dengan gembira.

 

Pria yang selalu tampak tulus dan sederhana kini membicarakan tentang pembunuhan berdarah dingin dengan senyum di wajahnya. Shikamaru baru saja menyadari, dalam hatinya, bahwa Rou benar-benar merupakan bagian dari Anbu.

 

“Untuk menyimpulkan apa yang telah kita diskusikan: Rou, kau akan menggunakan jurusmu untuk membantu kita membaur di keramaian alun-alun. Aku akan menggunakan bayanganku untuk mencapai dan menahan Gengo. Soku, kau akan ditempatkan di atap terdekat, memantau dari atas. Saat kau melihat Gengo menjadi kaku, kau harus segera melayangkan Jarum Chakramu.”

 

Mereka berdua mengangguk dengan senyuman yang tidak biasa atas perintahnya, seolah mereka telah menunggu-nunggu saat itu tiba.

 

“Kami mengandalkanmu, Hinoko.”

 

“Berapa kali aku sudah katakan untuk tidak memanggilku begitu?!” Soku bangkit dan berdiri, memanas karena kemarahan.

 

“…Empat puluh kali.” Bisik Rou.

 

“Huh?” Soku melotot ke arah seniornya, mulutnya terbuka karena marah.

 

“Nama Shikamaru-dono memiliki ‘shi’ untuk ‘4’ dan ‘maru’ untuk ‘0’, jadi…empat puluh.”ujar Rou tanpa perlawanan.

 

Soku geram.

 

“Permainan kata-kata lagi!” Ia melangkah maju, 

 

“Dan yang itu buruk! Lalu apa yang terjadi pada ‘ka’?!”

 

Rou segera bangkit dan –meskipun berusia 40 tahun, secara signifikan lebih besar daripada juniornya yang pemarah, dan merupakan seorang Anbu- dengan cepat bersembunyi di belakang Shikamaru, meringkuk dari kemarahan remaja berusia 14 tahun. 

 

Tentu saja, ia melakukan tindakan tersebut untuk membuat tertawa, namun itu tak membuat Shikamaru berhenti merasa malu akan sikap mereka berdua.

 

“Apakah semua akan benar-benar baik-baik saja besok…?” Ia menghela nafas.

 

Kedua Anbu berdiri tegak, kalimat yang meyakinkan keluar dari mulut mereka.

 

“Semua akan baik-baik saja, kau tahu!”

 

“Tak ada yang perlu terlalu anda khawatirkan, Tuan!”

 

Melihat mereka, Shikamaru mengehela nafasnya lagi.

 

LANJUT CHAPTER 10 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar