Seekor gagak menangkap lengan setengah
binatang muda yang bersembunyi di hutan dan merentangkan sayapnya.
Diam-diam mendekat dari belakang,
Kaito melompat dan memotong sayap hitam itu dalam sekali tebas.
Burung gagak jatuh tersungkur ke
tanah dan laki-laki berambut merah itu menusuk tubuh gagak berulang kali dengan
pedangnya. Melanie dengan lembut memeluk anak setengah binatang yang menangis.
Sambil menyeka keringat yang meluncur ke dagunya, Kaito berbalik.
"Jadi, sudah semuanya,
kan?"
Mereka sudah bergerak di antara
pepohonan dan berhasil mengumpulkan delapan anak. Hanya sedikit orang yang
selamat? Kaito cukup terkejut, tapi tidak ada waktu untuk terkejut saat ini.
Karena mereka sudah bersembunyi
di pepohonan dan berusaha membunuh setiap kali ada serangan, gagak belum
menyadari ada yang tidak beres. Gagak yang sudah menyelesaikan tugas berburu
mereka sedang beristirahat di kawat berduri. Jika Kaito dan rekannya melarikan
diri, sekarang mungkin adalah satu-satunya kesempatan.
Kaito mengeluarkan kapak dan
pisau baru dari bawah pohon, menyerahkan pisau yang lebih mudah ditangani
kepada anak setengah binatang itu, lalu berjongkok. Melihat ke dalam mata
masing-masing, dia kemudian dengan sabar memberi tahu mereka
apa rencana selanjutnya.
"Dengarkan baik-baik, kita
akan berlari dengan cepat ke pintu masuk bawah tanah. Jika gagak menyerang
kita, ayunkan senjata kalian dengan liar seperti yang kita sepakati. Tidak
perlu membunuh gagak, lindungi diri kalian sendiri. Jagalah dirimu tetap hidup. Lakukan apapun yang dibutuhkan. Kita bergerak!"
Memimpin anak-anak, Kaito
bergegas keluar. Tempat itu terbuka lebar di depan mereka, berbeda dari penampilannya,
lantai terlihat seolah membentang tanpa ujung. Berlari sekuat tenaga,
mereka akhirnya sampai di pintu masuk.
Kaito berbalik. Sekarang,
gagak sudah mendekat dari belakang. Sambil mengangkat kapaknya, Kaito menyerang
pintu.
"Menyebar seperti yang kita
sepakati sebelumnya!"
Atas perintah pemuda berambut
merah itu, anak-anak menyebar, mengacungkan senjatanya. Tetapi, ini mungkin
tidak akan banyak memakan waktu. Mengabaikan dampak dan rasa sakit yang melukai
bahunya, dia dengan cepat menyerang bagian pintu di sekitar ganggangnya.
Berhenti dan menyingkirkan kunci itu, Kaito menendang pintu hingga terbuka di
tengah teriakan gila.
"Pintu terbuka, cepat-"
Pada saat yang sama, dia
mendengar jeritan dari belakang. Kaito berbalik untuk melihat bahwa seorang
anak laki-laki yang memegang sebuah pedang, matanya sudah tertusuk oleh paruh raksasa
dan senjatanya jatuh dari tangannya. Kepala kecilnya juga terjatuh di tanah
seperti buah, menggelinding begitu saja. Kematian seketika, mungkin.
Marah dengan apa yang terjadi di
depannya, Kaito melihat warna merah dan mulai beraksi. Karena tidak peduli
dengan robekan di otot-otot lengan, dia mengangkat kapaknya dan melemparkannya
dengan sekuat tenaga. Burung gagak yang sudah membunuh anak laki-laki itu dan
akan mengejar anak-anak lain terbelah oleh kapak terbang. Burung gagak lainnya
terjebak ke serangan ini dan terjatuh satu demi satu. Kaito berteriak sekeras
mungkin:
"Lari sekarang!"
Dengan teriakan Kaito yang kuat
sebagai isyarat, anak-anak bergegas pergi menuju pntu. Pemuda berambut merah itu mengikuti dari belakang.
Sambil mengambil pedang
yang sudah jatuh dari tangan anak
laki-laki yang sudah meninggal itu, Kaito memotong kepala burung gagak di
dekatnya saat dia berada di sana, dan dengan keras melemparkan mayat itu ke
arah kawanan gagak. Menghindari bangkai, gagak terbang.
Memanfaatkan peluang ini, Kaito
bergegas melewati ambang pintu dan meraih obor di samping pintu lalu
melemparkannya ke tubuh gagak yang mati. Api mulai menyebar, yang seharusnya bisa memberi mereka beberapa waktu.
Sementara gagak mengepakkan
sayapnya untuk mengusir asap yang mereka benci, Kaito bergegas kembali ke
pintu. Melanie dan anak-anak sudah berangkat, tapi entah kenapa, pemuda
berambut merah itu sedang menunggu Kaito. Berkedip, Kaito berteriak:
"Hei, tunggu apa lagi? Cepat
dan lari!"
"Uh oh..."
Pemuda berambut merah dan
Kaito mulai berlari bersama. Suara gagak berangsur-angsur memudar dari belakang
mereka. Sepertinya api berfungsi sebagai penghalang yang sangat efektif. Kaito dengan
tulus berharap bahwa gagak tidak akan mengejarnya.
Di dalam bagian yang redup, hanya
jejak Kaito dan rekannya yang bergema. Ragu-ragu, pemuda itu berbicara:
"Aku-aku Neue, siapa namamu,
tuan?"
"Aku Kaito, Sena
Kaito."
"Sena Kaito ... Maaf,
Kaito."
"Untuk apa?"
"Aku mencoba membunuhmu dan
bahkan mengatakan bahwa kau punya kehidupan yang istimewa dan mudah."
"Lupakan itu, orang bilang berbagai
macam hal gila akan terjadi di dalam situasi yang mendesak seperti ini."
"Tapi kau jauh lebih tenang
dari pada kami dan bahkan membunuh gagak untuk menyelamatkan kami. Kau luar biasa,
sangat menakjubkan. Kenapa kau begitu berani-"
Neue berhenti di tengah kalimat.
Kaito dan dia berbalik untuk melihat ke belakang mereka karena terkejut. Kaito
bisa merasakan kehadiran membengkak yang mengerikan. Disertai dengan suara
gemeresik yang sulit dideskripsikan, sesuatu yang hitam pun terlihat gelisah.
lubang mata serangga bersinar.
Delapan kaki gemuk merayap sepanjang dinding batu.
Di belakang Kaito dan Neue ada
seekor laba-laba raksasa.
Pada pengecekan lebih lanjut,
Kaito melihat bahwa kekejian ini ditutupi oleh beberapa bulu burung gagak dan
bahkan memiliki paruh yang tajam. Kaito menyadari alasan kenapa burung gagak tidak
mengejar mereka.
Berpikir bahwa api sudah berhasil mengalihkan perhatian, pemikiran yang sangat naif.
Mengetahui bahwa bentuk aslinya
berada pada posisi yang kurang menguntungkan di bagian bawah tanah, burung
gagak sudah bergabung ke bentuk seekor laba-laba.
Laba-laba itu mengeluarkan jaring
dan Kaito segera membela diri dengan menggunakan pedang itu. Di saat
berikutnya, ia menarik pedang itu kembali ke atas angin lalu melemparkannya.
Pisau itu menabrak laba-laba tapi tidak tertusuk ke tubuh laba-laba.
Sebaliknya, ia memantul dari bulu gagak yang tebal dan meluncur ke tanah.
Laba-laba itu menjerit dengan tidak sabar dan mengeluarkan sutra lagi. Kali
ini, sasarannya adalah Neue yang wajahnya dipelintir karena ketakutan. Melihat
ekspresinya, Kaito merasa dirinya sedang melihat sosoknya yang dulu.
Pemuda ini sudah dikutuk oleh
orang tuanya agar mati, lalu ditinggalkan di tempat ini dimana tidak ada
bantuan yang bisa ditemukan.
Astaga, mau bagaimana lagi...
Mundur, Kaito menguatkan dirinya dan mengulurkan lengan kirinya.
Sutra laba-laba melilit lengan
Kaito. Kaito segera menyambar pedang Neue untuk memotong sutra. Sutra laba-laba
itu terasa seperti baja. Kaito menyerah untuk memotong sutra dan memutuskan memotong tangannya sendiri. Laba-laba itu menyeret sutra ke belakang dan membuat suara
yang tidak enak saat memakan daging Kaito dengan gerakan yang sama sekali
tidak seperti serangga.
Rasa sakit yang menusuk otak Kaito seperti kilatan petir, tapi
Kaito memiliki beberapa perlawanan terhadap rasa sakit dan tubuhnya juga abadi, tapi penderitaan lengan yang putus tidak tertahankan. Jika dia gagal
menahannya, dia akan mati di sini.
Kaito mengembalikan pedang itu ke
Neue, mencengkeram tungkai pisau erat-erat dan terus berlari. Berlari di
sisinya, Neue menangis.
"Kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kau melakukan itu? Kenapa !?"
"Jangan khawatir, aku sudah
mati."
"Apa? Apa kau bodoh?"
"Itu bukan sesuatu yang pantas dikatakan. Sebenarnya, aku bukan dari dunia ini."
"Apa yang kau
bicarakan?"
"Jangan tanya. Dengarkan
dulu... Di dunia lain, ayahku menggunakanku sampai batas tertentu dan pada
akhirnya, dia membunuhku seperti membuang sampah. Hidupku seperti omong kosong.
Awalnya aku pikir semuanya sudah berakhir, tapi.. aku pikir kau akan
menyebutnya penyihir? Bagaimanapun, dia memanggilku ke dunia ini dan memaksaku
masuk ke tubuh palsu ini.”
Kaito merasa harus
menceritakan kisahnya dan melanjutkan.
Setelah memakan lengan Kaito, tulang dan semuanya, laba-laba itu melepaskan sutra lagi. Kali ini, Neue memblokir sutra dengan pedangnya tapi pedang itu diseret menjauh. Tepat saat ekspresi Neue membeku, Kaito mendesah dalam-dalam dan Berhenti. Dia sebenarnya lebih suka jika dia tidak perlu melakukan ini, tapi tidak ada pilihan lain. Dia menahan napas dan memberi tahu Neue:
Setelah memakan lengan Kaito, tulang dan semuanya, laba-laba itu melepaskan sutra lagi. Kali ini, Neue memblokir sutra dengan pedangnya tapi pedang itu diseret menjauh. Tepat saat ekspresi Neue membeku, Kaito mendesah dalam-dalam dan Berhenti. Dia sebenarnya lebih suka jika dia tidak perlu melakukan ini, tapi tidak ada pilihan lain. Dia menahan napas dan memberi tahu Neue:
"Karena aku sudah mati, lain
kali jika laba-laba itu menembakan sutera, biarkan dia memakanku. Ambillah kesempatan itu untuk
melarikan diri."
"Apa kau bilang? Kau pasti
bodoh!"
"Aku tidak bodoh, jika aku benar-benar
dimakan, aku mungkin akan mati, tapi aku tidak pernah ingin hidup kembali, jadi
mengakhiri semuanya di sini tidak seburuk itu. Sebaliknya, kau seharusnya tidak
mati, tapi harus tetap hidup, kan?
"
Kaito menatap wajah Neue yang
masih seperti anak kecil. Neue menatap Kaito kembali. Air mata mengalir di mata
Neue.
Ya, seperti yang aku pikirkan, aku
tahu itu.
Kaito mengangguk.
Seorang anak yang menangis ketakutan tidak boleh tinggalkan di tempat seperti ini.
Saat ini, Kaito sudah tidak punya air mata untuk ditumpahkan.
"Kau belum boleh mati, kau
harus melakukan semua yang kau bisa untuk terus hidup. Lakukan yang
terbaik."
Kaito berbicara dengan Neue
dengan sedikit riang. Pada saat itu, laba-laba mengeluarkan suara aneh.
Anak itu menggigit bibirnya dengan keras.
Menghadapi kematian lagi masih
sangatlah menakutkan. Ketakutannya yang terlupakan muncul kembali. dimakan hidup-hidup,
sebetapa mengerikannya hal itu jika memang terjadi? Meskipun begitu, tidak ada jalan
lain. Kaito mengembuskan napas pelan.
Untuk menyelamatkan seseorang
yang menyerupai dirinya yang dulu, dia memutuskan untuk mati.
Dia ingin menjadi seperti yang
dulu diinginkan oleh dirinya sendiri... Seorang pahlawan datang
menyelamatkannya.
Ketika pikirannya sampai pada
titik ini, Kaito merasa bahwa ini bukanlah cara buruk demi mengakhiri
perpanjangan umur yang menyakitkan ini kepada kehidupannya yang membosankan.
Tepat seperti yang Kaito pikirkan, laba-laba itu mengeluarkan sutra. Tanpa
ragu, dia berhenti berlari tapi pada saat itu-
"--Hah?"
Neue mendorongnya menjauh.
Kulit kurus Neue menempel di sutra laba-laba. Berbaring terbaring di tanah, Kaito melihat adegan di
depannya dengan heran. Dia mengulurkan tangan untuk Neue sambil mengajukan
pertanyaan bodoh yang tiba-tiba muncul dalam pikirannya.
"K-kenapa?"
"Kenapa? entahlah."
Mungkin Neue sendiri juga tidak
tahu. Suaranya bingung. Laba-laba itu menarik kembali sutranya.
Pada saat itu, dengan ekspresi
kejam, Neue bergumam:
"Ah, aku mungkin berharap...
kau bisa menemukan kebahagiaan di dunia ini."
Neue mengutuk "sialan" dengan lembut dan perlahan diseret menjauh dengan senyuman yang nyaris akan menangis. Lalu terdengar jeritan yang mengerikan.
Neue mengutuk "sialan" dengan lembut dan perlahan diseret menjauh dengan senyuman yang nyaris akan menangis. Lalu terdengar jeritan yang mengerikan.
Kaito berdiri, hanya untuk
melihat laba-laba makan sesuatu, benar-benar asyik saat makanannya. Ketika
Kaito menyadari suara, kemarahan dan kebencian itu langsung melahap pikirannya,
yang akhirnya memulihkan ketenangannya. Kaito tiba-tiba berhenti dan bergumam
acuh tak acuh dengan nada dingin, kebenaran yang tidak bia dibatalkan.
"Ya... orang mati tidak
bisa diselamatkan."
Di saat berikutnya, Kaito
berbalik dan berlari. Bahkan dia sendiri pun dikejutkan oleh keadaan tenangnya
saat ini. Wajahnya tidak berekspresi, tapi kemarahan tidak terkendali secara
bertahap muncul di depan matanya. Seperti mengerang, dia berulang kali bergumam,
"bunuh-bunuh-bunuh-itu-bunuh-itu-harus-bunuh-itu, harus-harus--harus-harus--harus--bunuh itu."
"bunuh-bunuh-bunuh-itu-bunuh-itu-harus-bunuh-itu, harus-harus--harus-harus--harus--bunuh itu."
Kaito mengungkapkan maksud mebunuhannya dan melarikan diri secepat mungkin. Jika dia tertangkap di sini,
pengorbanan Neue pasti akan sia-sia. Dia tidak boleh membiarkan kematian Neue
tidak berharga seperti anjing. Dengan keyakinan seperti itu di dalam hatinya,
Kaito berlari seperti angin.
Segera setelah itu, sebuah pintu
masuk terlihat. Pintu masuk rahasia mungkin juga terkunci, tapi dia meminta
salah satu anak yang lebih besar mengambil kapak.
Sekarang, begitu banyak waktu kosong
yang didapatkan, mereka pasti berhasil menerobos pintu, bukan?
Namun, Kaito menyipitkan matanya.
Bahkan tidak ada goresan di pintu. Mungkinkah itu tidak terkunci?
Sama seperti yang dia bingungi, pintu
terbuka. Yang pertama muncul adalah gaun merah menyerupai poppy. Lalu
Melanie muncul dari pintu. Berbicara dengan suara menawan, dia langsung
berlari ke sisi Kaito.
"Tuan Kaito!"
"Melanie? Kenapa kau lari
kembali ke sini !? Cepat dan lari!"
Tanpa memedulikan peringatannya,
Melanie memeluknya erat-erat. Lengannya yang lembut membungkus diri Kaito di
belakang lehernya, membawa bibir cherry ke dekat telinganya. Ditemani dnapasnya yang manis, Melanie membisikkan sesuatu.
Pada saat itu, pintu terbuka
lagi. Kaito merasakan warna yang jelas tercetak di punggungnya.
Bahkan yang lebih merah dari
pakaian Melanie, yang pada awalnya murni berwarna putih, gaunnya berkibar.
"Oh, Kaito!"
Teriakan tak acuh, membuat Kaito
bertanya-tanya, apa dia berada di tempat yang salah?
Semuanya berlumuran darah,
Elisabeth melambai penuh semangat kepada Kaito.
"Astaga, aku baru saja ingin
pergi, jadi ini menghemat banyak masalah. Melihat kau datang dengan sendirinya,
sekarang, bukankah kau adalah seorang
anak yang pintar? Hmm? Kenapa kau berlumuran darah? Ngomong-ngomong, bukankah kau
hampir mati kehabisan darah? Di mana lenganmu terjatuh? jangan bilang kau memutusinya? Biar bagaimanapun, ikat itu dengan rantai... Eh, serangga?
Uwah, apa itu serangga? Aku benci serangga! Melihat laba-laba membuatku
gila!”
Melihat ke belakang Kaito,
Elisabeth melompat kaget. Begitu dia mendarat, pusaran kegelapan dan kelopak
merah melayang, bergerak ke langit-langit. Segera lubang besar terbuka di atas
laba-laba dengan berat yang sangat besar yang menampilkan banyak mata kail.
Berat yang mengerikan turun,
menghancurkan serangga itu.
"Kematian oleh tindihan!"
Elisabeth mengangkat tinjunya ke
langit. Lelucon tentang serangan ini sama sekali tidak seperti lelucon.
Laba-laba yang mengerikan itu
sekarang benar-benar hancur seperti kecoa yang rata di bawah sandal.
Pendarahan dari lengannya terhenti melalui tindakan keras untuk mengikatnya
dengan rantai. Rasa sakit membuat mulutnya ternganga. Melanie mencengkeram
kemeja Kaito, terlihat seperti dia takut kepada Elisabeth.
Di bawah keheningan yang berat
ini, Elisabeth memiringkan kepalanya sedikit, sama sekali gagal membaca suasana
hatinya.
"Jadi, apa yang sebenarnya
terjadi?"
Pada saat itu, ada sesuatu yang
pecah di dalam benak Kaito. Kekuatan Elisabeth yang luar biasa dan juga
ekspresi riang yang Kaito temukan terasa nostalgia, sarafnya, tegang yang sampai ke
batas maksimal, langsung rileks.
Dengan panik, dia memberi tahu
Elisabeth tentang situasinya.
"E-Elisabeth, ada diablo
muncul di gedung sekunder, mengatakan sesuatu seperti 'selamat datang di Grand
Guignol! Kalian semua adalah penonton, dramawan dan aktor. Aku harap
kalian akan menikmati diri sepenuhnya.' Lalu gagak ... "
"Oh, aku mengerti, aku
mengerti sekarang, Hmm, oh, heh."
Dalam keadaan bingung, Kaito
bercerita tanpa henti dengan banjiran
kata-kata, bahkan menyebutkan setiap detail yang tidak penting. Elisabeth
menggenggam kedua tangannya di belakang kepalanya dan berjalan melalui pintu
lalu ke aula dan maju melalui bagian di sebelah kanan.
Memeluk bahu Melanie yang
gemetar, Kaito mengikuti Elisabeth.
"Apa kau dengar, Elisabeth?
Ada diablo di sana."
"Kaito! Lihat!"
Dia menghentikan langkahnya di
depan pintu terbuka. Kaito mencondongkan tubuh ke depan dan mengintip ke dalam,
hanya untuk melihat dapur.
Seorang gadis mulia ada di
talenan, gaunnya yang indah secara tragis berceceran darah. Daerah rusuknya
sudah dicungkil. Di sebelah gadis yang mati itu ada seorang pria berwajah
banteng, mengenakan mantel juru masak, yang pahanya sudah dipotong oleh
gergaji. Rupanya dia adalah seorang pemuja dengan pakaian juru masak, mungkin dibunuh
oleh Elisabeth.
"Seperti yang sudah
disaksikan oleh Butcher, bagian tubuh gadis yang meninggal itu sudah
hilang, karena para Ealr cenderung memiliki garis keturunan yang lebih
rendah daripada orang biasa, jadi mereka juga terasa lebih enak. Orang-orang
mulia dimakan sementara orang awam digunakan untuk hiburan. Rencana sebenarnya
adalah bersenang-senang denganmu dan gadis-gadis biasa di gedung sekunder sebelum
menikmati makanan di ruang utama. Oh sayang, Itu sangat berlebihan."
Elisabeth mengangguk, "ya,
ya." Kaito mengepalkan tinjunya, sekali lagi menegaskan kemarahan dan niat
membunuh di dalam hatinya. Tidak mengerti emosi Kaito yang gemuruh, Elisabeth
berpaling padanya dan mengangkat bahu.
"Meskipun akan sangat menghibur jika bisa mengumpulkan orang-orang bodoh yang mencoba membuat makanan
darimu, kemudian memaksa mereka meludahkan apa yang mereka tau tentang bagian-bagian dari rahasia sebelum membunuh mereka. Mereka terlalu banyak dan mereka sudah melarikan diri ke halaman, jadi mengurus mereka akan
sangat merepotkan. "
"Elisabeth, aku mengerti
kenapa kau sangat lama datang, tapi itu tidak masalah sama sekali. Yang perlu
dilakukan sekarang adalah menuju ke gedung sekunder untuk membunuh diablos
itu."
"Hmph, pemandangan yang
sangat langka saat melihatmu sangat termotivasi. Lihatlah lenganmu, rasa sakit
manusia yang tidak takut memang sangat jarang terjadi... tapi, Kaito,
bagaimana kau bisa mengumpulkan tekad untuk memutuskan lenganmu, mengatasi
kesengsaraan yang merugikan, hanya demi tetap tidak menyadari kebenaran di
depan matamu? "
"Apa maksudmu?"
Sementara mereka berbicara,
Elisabeth terus maju. Dia meninggalkan dapur, sampai di koridor, lalu berhenti
di tengah lorong. Selain para pemuja, sisa bawahan diablo mungkin juga melarikan
diri. Rumah utama itu benar-benar sunyi.
Di bawah lampu gantung yang indah
dan mewah, Elisabeth berbalik, rambut hitamnya berkibar.
"Lebih dari sekadar
mendapatkan kekuatan, apa yang sebenarnya diablo ini inginkan adalah membuat
permainan dari manusia. Keinginan untuk hiburan ini melampaui kemampuan Knight
dan juga sesuai dengan seleraku sendiri. Penderitaan manusia sangat menyenangkan
saat jeritan manusia menimbulkan sukacita. Tapi, diablos ini lebih menyukai
hiburan yang membutuhkan usaha untuk menyiapkannya dan Grand Guignol akan
menjadi contoh yang sangat bagus. Sekarang, pikirkan hal ini. Keputusasaan yang
paling kuat dan terdalam yang diinginkan seseorang. Dan kepribadian yang sinting
dan menyimpang akan diinginkan dan diciptakan dengan susah payah? "
Awalnya, Kaito tidak tahu apa
yang dibicarakan Elisabeth, tapi kemudian dia kembali mengingat ayahnya yang
mencekiknya. Mengingat air seolah dia sedang menderita tanda-tanda dehidrasi,
untuk sesaat, Kaito pikir dia akan diselamatkan, tapi sayangnya, khayalan itu
berlalu dan dia terbunuh.
Keputusasaan yang paling kuat
adalah saat cahaya keselamatan direnggut dan padam tepat saat kau mengira sudah
menemukannya.
".... Menawarkan harapan,
membuat pihak lain berpikir bahwa mereka bisa diselamatkan, kemudian mendorong mereka
ke jurang maut."
"Tepat! Ketika para peserta
tersisa dua orang, membiarkan satu orang berpikir bahwa yang perlu dilakukannya
hanyalah membunuh gadis lemah ini untuk menjadi korban terakhir, lalu
membunuhnya dengan brutal seolah dia yakin bahwa dia akan diselamatkan ...
Sekarang tidak diragukan lagi jika itu adalah cara yang paling menghibur untuk
melakukan sesuatu! Namun, banyak hal sudah sangat menyimpang dari rencana ini
berkat kau, tapi untuk orang gila itu, variasinya mungkin memberikan semacam
kesenangan yang berbeda. Bagaimanapun, tidak ada satu anak pun yang berhasil
lolos dari tempat ini."
memahami isyarat Elisabeth, Kaito
memejamkan mata. Aula itu sunyi. Dia sama sekali tidak bisa mendengar suara
anak-anak. Kaito menggelengkan kepalanya dan mundur beberapa langkah dari
korban yang satunya, Melanie.
Anak-anak yang sudah lolos dari
permainan kematian, apa binatang sialan itu akan hilang begitu saja ...?
"Jadi begitulah, aku
berpikir diablos itu enggan bertahan dalam bentuk yang lemah beberapa
saat lagi."
Dengan senyum lembut, Elisabeth
mengamati wajah Melanie. Lalu dengan nada menghina, Elisabeth bertanya kepada
Melanie, yang gemetar tanpa henti.
"Sebagai anak perempuan dari
seorang Ealr, kenapa kau memilih untuk berpartisipasi dalam permainan
daripada digunakan untuk makanan?"
Seketika, gaun seperti bunga
poppy mulai membengkak seperti tumor. Bentuk gadis cantik itu berubah menjadi
seikat kain yang telah diisi dengan daging di dalamnya. Kulitnya pecah dengan
nanah meluap dari dalam.
Di dalamnya ada pria
telanjang dengan kulit pucat yang tidak biasa. Semuanya ditutupi bulu
gagak dan bahkan berkaki laba-laba.
Pria jelek, gemuk dan botak itu
membuka paruh burung gagaknya dan membuat suara aneh. Sambil menatap pria besar
dengan penampilan aneh itu, Elisabeth menggerakkan lidahnya ke kaki laba-laba
dan menyentuh dagunya sambil berkata:
"Seseorang di sisi yang lain
mungkin adalah pemuja atau pemalsu. Setelah kehilangan bentuk manusianya,
meniru sosok gadis muda itu cukup mudah. Bahkan fakta bahwa
dia juga mengambil anak laki-laki sebagai pengorbanan, mungkin menyamar
hanyalah hobi, Hmm, sangat menjijikan. Dan terlepas dari identitas manusianya sebagai Earl, sepertinya diablo yang dia gabungkan hanyalah awalan. Sempat berharap, yang aku temukan hanyalah ikan teri yang menungguku, benar-benar
biadap! "
"Siapa yang peduli dengan
benda itu? Cepat dan bunuh orang ini."
"Apa yang terjadi? Kau sudah
bertindak tidak seperti dirimu sendiri sampai sekarang. Apa kau punya dendam padanya?"
"Itu benar, aku bersedia
melakukan apapun dengan kekuatanku, jadi tolong, bunuh orang ini dengan kejam
untukku."
Kaito mengulangi dirinya sendiri
dengan penekanan. Keinginan kuat untuk membuat pertumpahan darah menciptakan
pusaran kuat di dadanya.
Berpikir bahwa dia adalah satu-satunya
yang selamat. Earl ini sudah membantai semua anak-anak. Hal ini membuat Kaito
benar-benar merasa bodoh. Bagaimana mungkin bajingan seperti itu diizinkan hidup? Selama Earl ini belum terbunuh, Kaito tidak peduli meskipun
dia kehilangan nyawanya sendiri, cukup sulit untuk menyelamatkannya.
"-Hah."
Elisabeth mengejek, bukannya
menjawab. Di saat berikutnya, dia menjatuhkan Kaito dengan sepatunya dan menginjak punggungnya.
Mengerahkan tekanan yang bisa menembus tulang belakang Kaito dengan sempurna, dia membarikan
seluruh berat badannya kepada Kaito.
"Gah!"
"Memerintah tuanmu sendiri
tidak diperbolehkan, dasar anjing tidak berguna. Aku tidak ingin kau memberi tahuku, tentu saja ini mangsaku. Bahkan jika kau tidak memohon kepadaku, aku tetap akan menikmati
mangsa ini sesuai keinginanku."
Elisabeth memberitahukan dengan
dingin dan memberi Kaito tendangan keras, hampir membuat perutnya pecah. Kaito
terlempar ke tikungan di dekat dinding, terbatuk-batuk dan muntah berdarah di
tanah. Selanjutnya, Elisabeth kembali lagi kepada Earl.
"Aku mohon maaf atas kekasaran
hambaku. Sekarang, semua penghalang sudah hilang."
Dia merentangkan tangannya dengan
anggun, menyulap tarian kegelapan dan bunga merah yang menyelimuti tubuhnya.
Setelah kegelapan mereda dan
kelopak jatuh ke tanah, Elisabeth mengenakan pakaian perbudakan hitamnya yang
biasa. Di tangannya yang lembut adalah Pedang Eksekusi Frankenthal.
Elisabeth meletakkan tangannya di
dada yang terbuka dan membungkuk ke arah Earl.
"Selamat datang di Grand
Guignol. Aku, sekaligus peserta, penulis naskah drama dan aktor. Aku tidak punya
rencana untuk menikmati ini, jadi yang perlu kau lakukan hanyalah menjerit
seperti babi dan menggeliat seperti ulat dan itu akan baik-baik saja."
Elisabeth berbicara dengan keras
lalu mengayunkan pedang tajamnya. Rantai terbentang dari udara tipis, menyerang
lokasi Earl. Dengan menggunakan delapan kaki laba-laba, Earl dengan
mudah membelokkan rantai lalu melompat, memecahkan lampu gantung. Menggetarkan
kekuatan di tubuhnya yang sangat pucat, Earl mengeluarkan bulu gagak yang
tak terhitung jumlahnya dari kulitnya. Pada saat yang sama, dia meludahkan
sutra laba-laba dari mulut, mengirim serangan yang tak terhitung banyaknya
kepada Elisabeth.
"Ha, terlalu naif!"
Elisabeth dengan cepat berlari ke
kiri dan ke kanan, menghindari setiap serangan. Lantai dan plafon penuh dengan
lubang tapi Elisabeth tetap tidak terluka. Meskipun begitu, sepertinya
Elisabeth terlalu sibuk melakukan serangan balasan. Melihat bahwa rantai
berhenti menyerang, Earl tertawa dan terus melakukan serangan hebatnya.
Namun, ia gagal memperhatikan
kegelapan dan kelopak merah yang berputar-putar di atas dan di bawah kaki.
Tiba-tiba, langit-langit dan
lantai bersatu, menjepitnya dengan keras.
Lebih tepatnya, dia terjepit di
antara dua lempengan batu besar yang terbang dari langit-langit dan lantai.
Ealr dijepit di antara
dua lempengan batu bundar raksasa. Ada batang emas yang tertanam di tengah
batu yang menyerupai engkol.
Pada saat Kaito memperhatikan,
Elisabeth sudah duduk di bagian pegangan rodanya. Dia tersenyum pada Ealr yang
berkedip dalam kebingungan.
"Rasakanlah Kematian. Aku menggunakannya
hanya untuk popularitasanmu. Menghancurkanmu sampai mati, kalau begitu, kau akan
terus digiling menjadi daging cincang sedikit demi sedikit."
Dengan suara yang tidak
menyenangkan, batu bundar mulai berputar. Setiap kali engkol naik dan turun
satu kali, kedua batu itu akan berputar seperti roda. Satu memutar searah jarum
jam sementara yang lainnya berbalik berlawanan arah jarum jam. Terperangkap di
tengah, tubuh Ealr membuat suara yang tidak menyenangkan sementara secara
bertahap menggilingnya. Saat batu-batu itu berputar, bulu burung gagak rontok,
daging pucat yang membengkak digiling menjadi kepingan yang dicadah. Dicampur
dengan daging dan lemak, darah berangsur-angsur menetes ke lantai.
Ealr mengeluarkan jeritan
mengerikan saat paruhnya jatuh. Bibir manusia yang awalnya tersembunyi di
baliknya bergetar tanpa henti dalam rasa sakit dan teror. Telinganya terobek
sementara sisi berlawanan kepalanya tertekuk searah jarum jam dan berlawanan
arah jarum jam, teriak liar dalam nasib ini lebih buruk daripada kematian.
"EE-Elisabeth,
Elisabeeeeeeeeeeeeee!"
"Ada apa, Ealr? Suaramu
menyebalkan seperti tangisan babi, tidak bisakah kau menunjukkan sedikit harga
diri dan erangan seperti gagak?"
"B-Bagaimana seseorang yang
bisa menyamaiku?"
"Hmmmmmmmmmmmmm?"
Roda tiba-tiba berhenti. Dengan tatapan
ganas di matanya, Kaito bergumam:
"... Seolah ada seseorang
yang mau menerima kesepakatan darimu."
"D-Dari apa yang aku dengar,
Torturchen akan menghadapi kematian dengan api setelah memburu ketiga belas
diablos ini. Kau tidak perlu mati jika kau tidak membunuhku. Apa aku benar?
Kepentingan kita sama, bukan? B-Biarkan aku pergi."
Wajah Ealr dikompres dari
kiri dan kanan, menyemburkan darah dan meludah dari bibir yang sudah diremas ke
dalam bentuk vertikal. Tiba-tiba Elisabeth bergumam lalu melompat ringan dari
pegangannya. Dia tersenyum pada pria jelek yang terjebak di antara roda. Dengan
gemetar ketakutan, Ealr tersenyum licik kepadanya sebagai balasan.
"Kau bodoh!"
Dengan teriakan yang nyaring,
roda mulai berputar lagi. Sambil melepaskan suara isak tangis aneh, Ealr meronta-rontakan lengan dan kakinya secara acak. Namun, tangannya terjatuh dan
bahkan bahunya tergores datar. Seperti buah, Ealr secara bertahap ditekan
dan dijus. Secara bertahap meningkatkan tekanan, darahnya menyebar dengan kejam
ke lantai.
Dengan cahaya dingin yang hampir
nol di matanya, Elisabeth melotot pada Ealr dan berkata:
"Penguasa yang penindas harus
dibunuh, para tiran harus digantung, pembunuh berantai harus dibantai dengan
brutal. Ini adalah hukum alam. Apa yang menanti di titik akhir dari jalan
penyiksaan adalah neraka tanpa sedikit pun penebusan, yang dipenuhi oleh
jeritan seorang diri. Baru pada saat itulah kehidupan penyiksa sampai pada
sebuah kesimpulan, apakah kau melakukan penyiksaan tanpa memahami
prinsip-prinsip seperti itu? Berhenti membuatku tertawa, Ealr. "
Elisabeth saat ini sedang marah, mengungkapkan kemarahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Akhirnya, dengan jebakan yang menggelegar, kedua roda itu terbanting. Darah
kental mengalir keluar dari celah di antara batu-batu itu. Elisabeth tanpa
ampun menginjak pegangan yang menghancurkan Earl sampai mati dan bergumam
pelan:
"Baik kau atau aku- kita
berdua akan ditinggalkan oleh semua ciptaan di langit dan bumi dan akhirnya
mati."
Pada saat bersamaan, genangan
darah berubah menjadi bulu hitam, terbang di udara sesaat sebelum jatuh
perlahan.
Pada pemandangan yang tenang dan
indah ini mirip dengan jatuhnya salju hitam, Kaito mengepalkan tinjunya.
"... Hei, bagaimana dengan
anak-anak itu, tertusuk hidup-hidup di tombak di gedung sekunder ..."
"Hidup mereka dipertahankan secara ajaib oleh kekuatan Ealr ini. Begitu dia meninggal,
mereka juga akan binasa."
"...Aku mengerti"
"Tidak ada yang stress,
ini jauh lebih baik daripada hidup dalam kesakitan dan penderitaan tanpa
henti."
Elisabeth mencemooh dengan tidak
tertarik. Kaito menatap kosong ke arahnya. Dulu dia berpikir bahwa cara
Elisabeth tidak berbeda dengan para diablos, tapi sekarang dia mengerti bahwa
dia dan para diablos pada dasarnya tidak sama. Paling tidak, Kaito bisa melihat
dua perbedaan besar.
Sambil menahan rasa sakit di tubuhnya,
Kaito memaksa dirinya bangun saat berbicara dengannya:
"Terima kasih,
Elisabeth."
"Kenapa kau bersyukur? Aku hanya
menghibur diriku sendiri. Selain itu, rasa syukurmu tidak hanya lucu tapi juga
dipenuhi kesalahpahaman."
"Setelah kau membunuh ketiga
belas diablos itu, kau harus mati juga, kan? Tapi kau masih membantuku membunuh
orang ini."
"Hal ini tidak ada di sini
maupun di sana, aku sama sekali tidak melakukan ini untukmu. Tiga belas diablos
hanyalah tiga belas individu terakhir yang diizinkan Gereja untuk aku siksa.
berpikir memeras mereka demi menyelamatkan hidupku tidak pernah terlintas
dalam pikiranku. Karena aku ditangkap setelah mengorbankan sejumlah besar
rakyat dan dihukum mati, adalah tugasku untuk dibakar sampai mati. "
Elisabeth melangkah keluar,
tumitnya menipis tajam, ujung hitam roknya berkibar.
"Kejam dan sombong, aku
memuji hidup seperti serigala, dan akhirnya akan mati seperti babi."
Mengatakannya sendiri, Elisabeth
perlahan melangkah pergi. Dengan suara yang sangat kecil, dia bergumam pada
akhirnya:
"-Ini sudah ditakdirkan
sebelumnya."
Selagi tertinggal, Kaito menatap
kosong ke udara. Bulu hitam menyapu pipinya seolah berkabung.
Dia teringat Neue dan memikirkan
anak-anak yang sudah meninggal. Pada akhirnya, dia adalah satu-satunya yang
selamat ... Apa drama pelarian ini berakhir dengan hasil yang menggelikan?
Namun, tidak peduli berapa pun yang disesalkannya, kenyataan pahit tidak akan
berubah dan juga tidak mungkin berubah.
Karena dia selamat, ada satu hal
yang harus dilakukannya.
Dia teringat kata-kata terakhir
Neue dan bergumam pelan:
"Kurasa, aku tidak bisa
menemukan kebahagiaan di dunia ini, bukan?"
Kurasa aku akan berusaha berjuang
semaksimal mungkin dan melihatnya.
Selanjutnya, Kaito meraih
pergelangan tangannya yang hilang dan mulai berlari. Pada saat bersamaan, bulu
hitam berkibar di udara terbakar dengan nyala biru. Setelah itu, bulu-bulu
terbang yang tak terhitung jumlahnya terbakar, sedikit demi sedikit membuat
ruangan terbakar.
Akhirnya, api biru mulai membakar
seluruh kastil.
Seolah-olah berkabung untuk banyaknya
yang meninggal, lidah api diam-diam menjilat dinding batu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar