Novel Shikamaru Hiden Chapter 6 - YUKKIMURA. BLOGS

Latest

Rabu, 06 April 2016

Novel Shikamaru Hiden Chapter 6


Sekumpulan anak laki-laki berusia sepuluh tahun menyeberangi jalan, tertawa dengan keceriaanyang tampak tak berakhir. Tak jauh di belakang mereka, seorang pria berwajah muram sedang terburu-buru menuju suatu tempat.

Anak-anak itu mungkin menuju Akademi, sedangkan pria itu mungkin akan pergi bekerja.

 

Di pinggir jalan, ada sebuah toko yang menjual lauk pauk pada pagi hari, bagian depan toko dikelilingi oleh para ibu rumah tangga yang sedang bergosip dengan berbagai gestur.

 

Itu adalah pemandangan pagi seperti biasa.

 

Pagi yang damai ini, Shikamaru melangkah sepanjang jalan utama yang dimulai dari gerbang depan Konoha yang terbuka lebar dan terus ke arah Kediaman Hokage. Jalan itu berakhir dibalik kediaman itu, yaitu pada Monumen Hokage dimana wajah seluruh generasi Hokage terpahat di sebuah bukit.

 

Tujuan Shikamaru adalah yang terakhir. Ia punya urusan disana.

 

Biasanya, ketika shinobi menerima misi di luar desa, mereka meninggalkan Konoha melalui gerbang utama. Tidak ada peraturan tertentu yang mengatakan hal tersebut, tapi itu adalah sebuah tradisi.

 

Para Anbu merupakan pengecualian. Mereka berurusan dengan misi yang sangat rahasia, sehingga untuk menyembunyikan keberangkatan mereka dari warga Konoha, mereka telah diatur untuk pergi melalui gerbang yang berada pada bukit di balik Kediaman Hokage.

 

Gerbang itu adalah tujuan Shikamaru. Misi kali ini dirahasiakan dari semua orang di desa. Satu-satunya yang mengetahui hanya Kakashi, seorang shinobi yang sulit diatur, dan tentu saja, Shikamaru sendiri, begitu juga Rou dan Soku yang menemaninya.

 

Ia menyerahkan urusan untuk menutupi ketidakhadirannya di desa pada Kakashi. Jika ada yang bertanya tentang keberadaannya, mereka akan diberitahu bahwa Shikamaru ada urusan mengenai Persatuan Shinobi di luar batas desa.

 

Skenario idealnya adalah dengan menyelinap keluar desa tanpa ada yang menyadari kepergiannya, dan kembali sebelum ada yang menyadari ketidakhadirannya.

 

“Hm?” Saat Shikamaru dengan cepat menuju ke gerbang belakang, ia menyadari pria berambut pirang berada dalam jarak pandangnya.

 

Si pirang juga menyadari keberadaannya.

 

“Yoo, pasti itu Shikamaru! Kenapa kau terburu-buru?”

 

Kau tak akan percaya bahwa keduanya sesusia, dengan seringai kekanak-kanakannya yang menyala saat ia menghampiri temannya. Pipinya memiliki tiga garis seperti kumis kucing pada tiap sisinya, dan matanya yang biru tampak bebas dari keraguan dan kebimbangan.

 

“Itu yang seharusnya kutanyakan padamu. Apa yang kau lakukan pagi-pagi begini, Naruto?”

 

Uzumaki Naruto.

 

Ia adalah seorang pahlawan yang telah menunjukkan jalan untuk mengakhiri perang besar yang lalu pada semua orang, putra dari Hokage keempat. Kyuubi telah disegel dalam tubuhnya saat iya baru lahir, dan ia tumbuh dengan menghadapi berbagai prasangka dari orang sekitarnya, ia tak pernah bimbang akan cita-citanya untuk menjadi Hokage, dan tetap menjalani jalan hidupnya. Seperti itulah Naruto.

 

Saat ini, ia adalah kandidat terkuat yang akan menjadi Hokage setelah Kakashi.

 

“Aku tidak bisa tidur semalam,” ucap Naruto, 

 

“Jadi saat aku terbangun pagi ini, aku langsung pergi ke Ichiraku Ramen, dan sekarang aku menuju kembali ke rumah.”

 

“Kau pergi ke toko itu sepagi ini?”

 

“Belakangan ini, mereka buka 24 jam setiap hari.” Naruto tampak sangat senang akan hal itu.

 

“Bukan, maksudku, kau makan ramen sepagi ini…”

 

“Aku selalu baik-baik saja kalau makan ramen, tidak peduli pagi atau siang atau malam!”

 

“Hey, itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan.”

 

“Setengah dari tubuhku mungkin terbuat dari ramen.” Ucap Naruto serius, membusungkan dadanya dengan bangga.

 

Shikamaru menghela nafas.

 

“Kau sekarang dikenal sebagai pahlawan yang mengakhiri perang, cobalah untuk menjaga tubuhmu.”

 

“Pahlawan adalah pahlawan, dan ramen adalah ramen!”

 

“…Pemikiran yang tidak masuk akal.”

 

“Hahaha.” Naruto tertawa, malu-malu menggosokkan jari ke batang hidungnya.

 

Kebiasaan itu tidak berubah sejak di Akademi. Naruto selalu menjalani hidupnya dengan pandangan yang lurus dan murni. Karena pandangan itulah ia mampu mengubah sekitarnya- bahkan mengubah Shikamaru.

 

Naruto, yang dianggap sebagai kutukan bagi desa, menjaga hatinya yang murni dan perlahan membuat banyak dan lebih banyak lagi teman yang berada sisinya.

 

Pada akhirnya, Naruto dapat menyelamatkan temannya Uchiha Sasuke yang telah jatuh dalam kegelapan, penuh dengan kebencian terhadap dunia.

 

Menyelamatkannya bukanlah hal yang mudah.

 

Tidak…

 

Sebenarnya, itu merupakan hal yang tak dapat dilakukan oleh siapapun selain Naruto.

 

Mimpi yang selalu Naruto genggam erat-erat sejak ia kecil hanya satu: untuk menjadi Hokage.

 

Ia tak pernah memiliki saudara yang memberinya dukungan, dan satu-satunya cara agar ia mendapatkan perhatian dari orang lain adalah dengan leluconnya yang berulang-ulang, namun ia tetap bersikeras bahwa ia akan menjadi Hokage suatu saat nanti.

 

Awalnya, tak ada yang percaya Naruto dapat melakukannya. Namun sekarang, tak ada satupun orang di desa ini yang berpikir bahwa orang lain selain Naruto yang akan menjadi Hokage selanjutnya.

 

Naruto adalah matahari.

 

Ia memiliki cahaya terang benderang dalam dirinya yang tak pernah redup, terus berkobar. Karena begitu terangnya ia bersinar maka ia menjadi matahari. Semua yang melihat semangatnya itu membuka hati mereka untuknya, dan menjadi temannya.

 

Hingga kini, dan hingga akhir nanti, Shikamaru merasa bahwa Naruto akan terus berjalan kedepan tanpa keraguan dari cahayanya. 

 

Dan itulah yang harus terjadi. Suatu hari, Naruto akan menjadi Hokage, memperoleh kepercayaan desa lebih banyak lagi, dan terus bersinar, lebih terang dan lebih terang lagi.  

 

Demi cahaya itu, hal seperti matahari tidak perlu mengetahui tentang kegelapan dunia.

 

Hingga kini, Naruto melancarkan perang melawan orang-orang yang hatinya telah dipengaruhi oleh kegelapan yang tak terhitung jumlahnya, namun ia tak pernah berbelok.

 

‘Tak peduli sejauh apa seseorang tenggelam dalam kegelapan, bagian dari dirinya akan merindukan cahaya.’

 

Naruto bertarung karena ia benar-benar mempercayai hal itu. Shikamaru telah melihatnya mengubah hati musuh-musuhnya dengan prinsip yang sama berkali-kali.

 

Tak peduli seberapa besar kegelapan mengelilinginya, Naruto tak pernah kehilangan cahayanya.

 

Karena itu Naruto tak benar-benar tahu arti sebenarnya dari ‘kegelapan’.

 

Selalu ada kegelapan di hati manusia. Berpikir bahwa kau dapat menyelamatkan semua orang adalah prinsip yang mustahil.

 

Tak peduli seberapa dahsyat kau mecoba untuk menyelamatkan orang-orang dan menuntun mereka menuju cahaya, akan selalu ada mereka yang tergelincir, terus terjatuh ke dalam kegelapan. Begitulah kehidupan di dunia.

 

Namun Naruto tak berpikir seperti itu. Tak peduli seberapa membuat putus asanya keadaan, ia tak akan menyerah untuk menyelamatkan semua orang dari takdir itu.

 

Seperti itulah Naruto.

 

Dan Shikamaru tak ingin ia berubah.

 

Naruto merupakan orang harus tetap menjadi murni dan polos, menjadi matahari yang bersinar.

 

Semakin terang cahaya bersinar, semakin gelap bayangan berkembang.

 

Namun selama ada seseorang yang memikul beban kegelapan itu, maka semua akan baik-baik saja.

 

Shikamaru berpikir bahwa menjadi ‘seseorang’ itu adalah tugasnya.

 

Bukankah wajar bagi seorang pengguna jurus bayangan untuk memikul beban dari kegelapan?

 

Naruto akan menjadi Hokage, dan Shikamaru akan mendukungnya sebagai tangan kanannya. Itu adalah mimpi Shikamaru; untuk berada di sisi Naruto dan menghalau semua kegelapan yang akan mengganggu cahayanya.

 

Saat pikiran itu muncul di kepala Shikamaru, tiba-tiba ia memahami dirinya sendiri.

 

Mengapa ia begitu keras kepala mengajukan diri untuk pergi ke Negeri Sunyi?

 

Tentu saja, itu semua demi Naruto.

 

Jika Negeri Sunyi terus berkembang lebih kuat, maka Naruto akan berakhir menderita. Negeri Sunyi akan menjadi penghalang besar baginya.

 

Itulah mengapa Shikamaru ingin pergi dan menghancurkannya sejak awal.

 

Bagimanapun, ia telah memutuskan untuk menanggung semua kegelapan yang mencoba mengganggu cahaya Naruto. Termasuk berhadapan dengan penghalangnya di masa depan.

 

“Jadi apa yang kau lakukan?” Tanya naruto, memecah lamunan Shikamaru.

 

“Aku berjalan-jalan.”

 

“Sepagi ini?”

 

“Naruto,” Shikamaru tak berekspresi. 

 

“Aku berjalan-jalan seperti ini sama sekali tidak seaneh kau yang memakan ramen sepagi ini.”

 

“Baiklah, itu benar.”

 

Keduanya tertawa.

 

“Apa kau sedang libur?” Tanya Shikamaru.

 

“Tentu saja tidak. Karena seseorang terus memberikanku misi yang merepotkan, aku tak punya hari libur dalam setengah tahun ini, kau tahu. Aku akan pergi melaksanakan misi siang nanti.”

 

‘Seseorang’ itu tentu saja, Shikamaru.

 

“Itu adalah misi-misi yang kupilih demi kepentinganmu, jadi berhenti mengeluh.”

 

“Tapi aku masih ingin istirahat sebentaaaaar saja.”

 

“Kau diawasi sebagai kandidat Hokage selanjutnya. Terlalu penting waktu yang kau gunakan untuk istirahat. Lebih bersadar dirilah, Naruto.”

 

“Aku mengerti… tapi hanya satu-“

 

“Tidak ada tapi-tapian” Ucap Shikamaru, seperti memarahi anak kecil. 

 

“Semua orang di desa menyetujuimu. Tapi karena mereka setuju maka kau harus melaksanakan misi yang lebih banyak lagi, jadi orang-orang akan berpikir ‘aah, apa yang akan kami lakukan jika Naruto tidak disini’. Sudah dua tahun sejak perang berakhir, kau tak dapat berpikir naïf bahwa persetujuan semua orang akan terjamin dengan tindakanmu waktu itu.”

 

“Baiklah, baiklah…” Naruto sedikit cemberut sebelum melakukan peregangan. 

 

“Perutku penuh, jadi kupikir aku akan pulang dan tidur sebentar.”

 

Shikamaru menyipitkan mata ke arahnya. 

 

“Jangan tidur terlalu lama.”

 

“Tidak akan” Naruto tertawa karena wajah seriusnya, dan kembali berjalan.

 

“Oi, Naruto.” Shikamaru memanggilnya.

 

“Apa?” Naruto berbalik.

 

“Kau adalah pria yang akan menjadi Hokage. Jangan lupakan itu.”

 

“Aku tidak akan menarik kembali kata-kataku,” janji Naruto. 

 

“Itulah jalan ninjaku.”

 

“Tak akan menarik kata-katamu.” Shikamaru berhenti sejenak. 

 

“Juga jalan ninjaku.”

 

“Yeah.” Naruto mengangkat tangan kanannya dan melambai, kemudian berbalik untuk kembali berjalan.

 

Setelah melihat punggungnya sebentar, Shikamaru berbalik untuk menjalani jalannya juga.

 

“Aku pasti akan menjadikanmu Hokage.”

 

Shikamaru sudah sejak lama memutuskan bahwa ia takkan menarik kembali kata-kata itu.

 

⁰â‚’⁰

“Aku membuat kalian menunggu, huh.”

 

Shikamaru menujukan kalimat itu pada Rou dan Soku.

 

Misi kali ini melibatkan penyusupan ke sebuah negara dan juga membunuh target. Itu bukanlah hal yang dapat dilakukan sepenuhnya dibawah radar. Itulah mengapa mereka berdua tidak menggunakan topengnya.

 

“Kita memiliki beberapa objek misi.” Ucap Shikamaru. 

 

“Memeriksa situasi di Negeri Sunyi. Mencari Sai dan 10 Anbu yang hilang kontak. Namun prioritas utamanya adalah membunuh pria bernama Gengo.”

 

Keduanya mengangguk dalam diam.

 

Kakashi tidak datang untuk melihat mereka pergi. Hanya ketiga shinobi itu yang berada di dekat gerbang belakang yang tertutup. Gerbang itu tersembunyi diantara pepohonan di dasar bukit. Daripada terlihat cerah, gerbang itu lebih terlihat lembab dan suram.

 

“Ah baiklah, karena kita akan menjalani misi pembunuhan, maka kita harus memastikan tidak ada pemantauan…” Lubang hidung Rou melebar saat menekankan kata ‘pemantauan’.

 

Shikamaru menatapnya, bingung dengan apa yang dimaksud.

 

“Leluconmu sangat terasa datar, kau tahu.” Soku memberitahu Rou.

 

Pria itu tampak kebingungan, keringat mengalir di dahinya karena malu.

 

“Dia mencoba untuk membuat lelucon, kau tahu.” Soku menjelaskan pada Shikamaru dengan ekspresi ‘aku minta maaf soal ini’ di wajahnya. 

 

“Kau tadi bicara tentang memeriksa situasi, dan karena memeriksa memiliki arti yang sejenis dengan memantau, ia membuat lelucon tentang pembunuhan yang kita lakukan agar tidak terpantau, karena ini merupakan rahasia… Pada dasarnya, pria tua ini cenderung membuat lelucon seperti itu, baik sekarang maupun nanti, jadi ada baiknya untuk berhati-hati, kau tahu.”

 

Shikamaru menelan keinginannya untuk membuat balasan yang jenaka, dan berdehamn mencoba untuk mengembalikan suasana yang serius.

 

“Ketika kita melewati gerbang, kita langsung berlari, oke?”

 

“Kami sudah tahu itu, kau tahu.” Soku menjawab dengan riang.

 

Rou, yang wajahnya memerah karena malu, juga memberi anggukan.

 

“Baiklah kalau begitu, ayo.”

Dan dengan itu, ketiganya mendorong dan membuka gerbang belakang.

 

LANJUT CHAPTER 7 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar